Gonjang
ganjing persoalan ganti rugi tanah masyarakat tidak akan pernah habisnya di
bahas entah dalam forum seminar, forum rapat di berbagai tingkatan atau bahkan
sampai dalam diskusi pendek di warung kopi..Begitupun halnya persoalan ganti
rugi tanah di wilayah blok Bakan kecamatan Lolayan, yang dalam kurun satu tahun
terakhir masih menjadi topik hangat di perbincangkan dan memunculkan sejumlah duga-duga, spekulasi ataupun
tudingan miring ke berbagai pihak yang di anggap paling bertanggungjawab.
Karut marut fenomena ganti rugi tanah ini sepakat di simpulkan di berbagai diskusi pendek warung kopi berangkat dari suatu kepentingan sehingga muncrat kemana-mana, yang sangat berpotensi untuk masuk ke wilayah hukum baik itu di sengaja ataupun tidak.
Terlepas daripada kesimpulan itu, tersirat adanya silang sengketa adu kekuatan, kekuasaan melalui simpul-simpul politik, kelembagaan pemerintah maupun penegak hukum. dan kemudian menjadi barang laris di perdagangkan di depan public yang ternyata memaksa pihak investor untuk tunduk dan patuh bagai kerbau yang di cocok hidungnya mengikuti apa yang di perintahkan.
Namun di balik itu semua ternyata investor bukanlah sekelompok orang bodoh dan dungu yang bisa di kadalin begitu saja, trik-trik mumpuni di mainkan dengan mengatasnamakan peraturan, membawa-bawa nama pemerintah daerah maupun melibatkan instansi penegak hukum
Tindakan ini jelas suatu strategi adu domba yang membuka potensi konflik antara masyarakat (baca pemilk tanah) dengan pemerintah daerah dan atau aparat penegak hukum. Tentu dalam posisi demikian itu, masyarakatlah menempati posisi terlemah yang mudah di seret pada wilayah hukum pidana maupun perdata.
Gila, edan sinting sepenggal kalimat yang tepat diucapkan untuk di alamatkan pada potensi masalah yang muncul dengan strategi PT. J.Resources Bolaang Mongondow guna mengamankan kepentingan mereka di wilayah Blok Bakan Kec. Lolayan.
Dengan itikad baik dan penuh
kewarasan dalam batok kepala, serta bekal sedikit ilmu pengetahuan akan masalah
ini saya mengkaji duduk persoalan ganti rugi tanah yang sekilas nampak rumit,
susah dan tak tahu kapan akan selesai.
Investigasi awal guna mendapatkan data/informasi mau tidak mau saya harus terlibat langsung dalam proses permasalahan yang menjadi lokus pengkajian.
Investigasi awal guna mendapatkan data/informasi mau tidak mau saya harus terlibat langsung dalam proses permasalahan yang menjadi lokus pengkajian.
FAKTA-FAKTA
Munculnya permasalahan ganti rugi tanah di kawasan
hutan Blok Bakan Kecamatan Lolayan di mulai awal tahun 2013 atau tepatnya tanggal 5 Januari 2013. Petantang-petenteng
bak jagoan penguasa gunung yang dibekali ilmu kanuragan melalui SK
Menteri Kehutanan RI Nomor 649/Menhut-II/2012 tgl 20 Nopember 2012 tentang Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan …. seluas 561,96 Ha. maka di
mulailah penggusuran tanaman masyarakat dengan alat berat oleh PT. J. Resources
Bolaang Mongondow.
Sedih, kecewa, marah tentu tak terbilang rasanya bagi para pemilik/ lahan perkebunan akibat kesewenangan penggusuran ini yang tanpa ampun meluluh-lantakan ribuan pohon cengkeh, coklat, kopi yang sudah berproduksi.
Sekiranya pembayaran ganti rugi atas pemakaian tanah yang sudah di gusur telah di lakukan PT. J. Resources Bolaang Mongondow maka saya beryakinan masyarakat pemilik lahan akan ikhlas mempersilahkan menggusur tanaman mereka di wilayah blok bakan. Namun nyatanya harapan masyarakat mendapat ganti rugi tanah adalah pepesan kosong.
b. Kawasan Hutan dan,
c. Tanah
Obyek yang di pinjam-pakaikan melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor 649/Menhut-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan …. seluas 561,96 Ha pada hakekatnya adalah kawasan hutan dimana di dalamnya tidak dimungkinkan terjadinya hubungan hukum langsung secara perseorangan/individu yang berarti tidak akan pernah terjadi proses ganti rugi.
Oleh karena secara natural kawasan hutan hidup di atas tanah yang diatasnya melekat unsur hubungan hukum langsung yang di perkenankan oleh Negara maka perlulah pemilahan secara tepat obyek yang mendapat ganti rugi. Pernyataan tegas telah di jelaskan dalam pasal 68 ayat 4 undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan lebih lanjut akan di temukan dalam pasal 24 Permenhut RI. 44/Menhut-II/2012 sebagaimana telah di ubah dengan Permenhut RI No. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan serta pasal 6 dan 11 Permendagri RI Nomor 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
Melekatnya hubungan hukum langsung (baca kepemilikan/penguasaan) pada suatu obyek tanah yang diikuti secara bersama-sama oleh obyek lain (kawasan hutan, mineral) yang tidak dapat memiliki hubungan hukum menjadikan konteks masalah ganti rugi menjadi kabur dan mudah di tarik ke wilayah perbuatan melawan hukum dengan alasan perambahan hutan dan atau ijin berkebun.
Dalam situasi seperti ini tanpa disadari aparat penegak hukum telah di permainkan PT. J. Resources Bolaang Mongondow dan masuk zona hukum administrasi publik yang bukan ranah bidang tugasnya. Suatu bukti, dalam suatu kesempatan saya sempat membaca surat tertulis tertanggal 3 Pebruari 2013 perihal pendampingan ke lokasi dari aparat penegak hukum bersama Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang isinya patut di duga bahwa si A tidak memiliki ijin berkebun dari kementerian terkait.
Lucu,konyol kiranya kalau di negeri republik ini untuk berkebun saja harus minta ijin, kalau begitu kementerian mana yang punya kewenangan memberikan ijin berkebun.
Terlepas dari subtansi ijin berkebun itu, dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa jelas kiranya potensi perbuatan melawan hukum pidana/perdata bagi masyarakat pemilik tanah dengan menggunakan pasal-pasal Undang-Undang 18 tahun 2012 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan tidak terpenuhi.
Kalaupun di paksakan harus terjadi oleh karena sebab kekuatan kekuasaan yang begitu besar (invisible hand) maka akan berimbas munculnya potensi konflik social masyarakat yang parah dan membawa kehancuran. Kalau begitu dimana letak kemaslahatan dari keberadaan investor di negeri totabuan ini kalau kiranya hanya mendatangkan “huru-hara” bagi kehidupan masyarakat.
Sikap hati-hati memilih profile company investor yang mumpuni adalah kunci utamanya dari seorang pengambil keputusan.
Pengangguran terbuka memang harus di minimalkan, pertumbuhan ekonomi daerah perlu untuk di tingkatkan dan itu semua butuh peran serta swasta.
Akan tetapi kalau investor yang datang hanya sekedar membuat keonaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan pemerintah serta mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepatutnyalah direktur utama kita tempeleng beramai-ramai dan untuk manager eksternal kita tendang pantatnya dan seret ke polisi atas dugaan perbuatan melawan hukum melanggar pasal 385 ayat1 KUHP..
Kembali ke masalah utamanya, fakta sesungguhnya yang terjadi terkait permasalahan ganti rugi tanah blok Bakan Kecamatan Lolayan adalah pelanggaran administrasi yang di lakukan oleh PT. J. Resources Bolaang Mongondow sebanyak 2 kali yakni :
1. Tahapan awal sebelum terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor s.276/Menhut-VII/2012 tanggal
26 Juni 2012 tentang ijin prinsip penggunaan kawasan hutan.
2. Tahapan akhir
sesudah terbitnya SK Menteri Kehutanan RI
Nomor 649/Menhut-II/2012 tgl 20 Nopember 2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan …. seluas 561,96
Ha
Oleh karena terjadinya pelanggaran hukum administrasi ini maka konsekwensi hukumnya bagi PT. J. Resources Bolaang Mongondow adalah pencabutan ijin pinjam pakai yang telah di berikan dan bukan dalam wilayah hukum pidana/perdata. Penegasan ini terdapat dalam amar kesepuluh SK Menteri Kehutanan RI Nomor 649/Menhut-II/2012 tgl 20 Nopember 2012.
Sebagai penutup Undang – Undang Dasar RI 1945 sebagai konstitusi tertinggi Negara kita, sumber dari segala sumber hukum pasal 28 huruf G telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Lebih lanjut pasal 28 huruf H ayat 4 menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih sewenang-wenang oleh siapa pun.
Jangan sampai ada rakyat kecil yang di kriminalisasi, karena begitu banyak bukti yang bertebaran di luar sana adanya tali temali masalah ini dengan masalah lain. Semoga tidak ada yang di korbankan atau menjadi korban dalam masalah ini. Amin
Sedih, kecewa, marah tentu tak terbilang rasanya bagi para pemilik/ lahan perkebunan akibat kesewenangan penggusuran ini yang tanpa ampun meluluh-lantakan ribuan pohon cengkeh, coklat, kopi yang sudah berproduksi.
Sekiranya pembayaran ganti rugi atas pemakaian tanah yang sudah di gusur telah di lakukan PT. J. Resources Bolaang Mongondow maka saya beryakinan masyarakat pemilik lahan akan ikhlas mempersilahkan menggusur tanaman mereka di wilayah blok bakan. Namun nyatanya harapan masyarakat mendapat ganti rugi tanah adalah pepesan kosong.
Walaupun dalam
amar kesembilan SK Menteri Kehutanan RI
Nomor 649/Menhut-II/2012 sudah memberikan rambu-rambu adanya hak-hak pihak ketiga pada areal kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan
kepada PT.J.Resources Bolaang Mongondow namun hal itu di anggap seperti sebait
lagu nina bobo dari seorang anak ingusan.
Dalam eksekusi di lapangan,
hak-hak pihak ketiga di kawasan hutan yang digunakan di anggaptidak ada dan untuk memuluskan rencana penggusuran ini
maka pilihan utama PT. J. Resources
Bolaang Mongondow menggunakan skenario kekuatan aparat penegak hukum dan akhirnya sukses memangkas perlawanan
sporadis masyarakat pemilik tanah saat itu.
Tidaklah di sadari penggunaan kekuatan hukum seperti ini pada akhirnya di titik nadir tertentu sebagaimana telah terjadi di berbagai tempat akan di menangkan oleh sebuah kekuatan hukum yang tidak tertulis, “hukum rimba” Siapa yang kuat dia yang menang, dan kedaulatan rakyatlah di atas segalanya. Silahkan lihat kembali apa yang terjadi pada PT. Malta di Kec. Poigar begitupun PT. MPU yang berada di desa Paret Kab. Bolaang Mongondow Timur, bukankah semuanya berakhir dengan kehancuran dan pihak investorlah yang akan menanggung semua ini.
Tidaklah di sadari penggunaan kekuatan hukum seperti ini pada akhirnya di titik nadir tertentu sebagaimana telah terjadi di berbagai tempat akan di menangkan oleh sebuah kekuatan hukum yang tidak tertulis, “hukum rimba” Siapa yang kuat dia yang menang, dan kedaulatan rakyatlah di atas segalanya. Silahkan lihat kembali apa yang terjadi pada PT. Malta di Kec. Poigar begitupun PT. MPU yang berada di desa Paret Kab. Bolaang Mongondow Timur, bukankah semuanya berakhir dengan kehancuran dan pihak investorlah yang akan menanggung semua ini.
OBYEK IJIN PINJAM PAKAI VS HAK-HAK PIHAK KETIGA
Mengupas obyek ijin pinjam
pakai yang di kantongi PT. J. Resources Bolaang Mongondow oleh karena bersifat
teknis administratif maka di awali pada beberapa referensi Permenhut RI. Sebut saja Permenhut RI Nomor 14/Menhut-II/2013 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan yang telah mengalami beberapa kali perubahan,
kemudian Permenhut RI No.44/Menhut-II/2013 sebagaimana telah di ubah dengan
Permenhut RI 62/Menhut-II/2014 tentang pengukuhan kawasan hutan.
Referensi ini sebagai dasar kedudukan hukum yang normatif yang menyebabkan di terbitkannya surat ijin pinjam pakai oleh kementerian kehutanan RI sekaligus sebagai dasar pengetahuan masyarakat akan persoalan yang terkait dengan kepemilikan tanah yang berada dalam kawasan Hutan dalam berbagai tingkatan status maupun fungsi.
Referensi ini sebagai dasar kedudukan hukum yang normatif yang menyebabkan di terbitkannya surat ijin pinjam pakai oleh kementerian kehutanan RI sekaligus sebagai dasar pengetahuan masyarakat akan persoalan yang terkait dengan kepemilikan tanah yang berada dalam kawasan Hutan dalam berbagai tingkatan status maupun fungsi.
Ijin pinjam pakai kawasan hutan
PT. J. Resources Bolaang Mongondow di
keluarkan pada tanggal 20 Nopember 2012 setelah melewati tahapan panjang
terhitung mulai akhir tahun 2011 saat
pertama kali di ajukan permohonan ijin pinjam pakai.
Tentunya dalam tahapan ini terdapat beberapa ketentuan persyaratan administrasi yang wajib di penuhi sehingga tidak mengherankan butuh waktu yang sangat lama dan pada tulisan ini tidak akan saya copas satu persatu. Intinya pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT. J Resources Bolaang Mongondow berdasar persyaratan administrasi yang telah di penuhi sebelumnya, secara implisit mengikutsertakan tiga obyek sekaligus yakni .
a. Mineral Tentunya dalam tahapan ini terdapat beberapa ketentuan persyaratan administrasi yang wajib di penuhi sehingga tidak mengherankan butuh waktu yang sangat lama dan pada tulisan ini tidak akan saya copas satu persatu. Intinya pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT. J Resources Bolaang Mongondow berdasar persyaratan administrasi yang telah di penuhi sebelumnya, secara implisit mengikutsertakan tiga obyek sekaligus yakni .
Dalam hubungan hukum maka obyek
mineral dan kawasan hutan pada angka 1 dan 2 pada dasarnya setiap individu tidak akan dapat memiliki hubungan
hukum langsung atas obyek tersebut atau
dengan. bahasa sederhana unsur kepemilikan/hak menguasai tidak akan pernah di
miliki secara pribadi/individual.
Penjelasan ini akan banyak di jumpai dalam berbagai literatur perundang-undangan yang terkait masalah energy dan sumber daya alam maupun masalah kehutanan. Oleh karena bersifat strategis dan sesuai konsepsi system ekonomi negara kita pada wilayah abu-abu (sosialis-liberal) kita yang kemudian di terjemahkan oleh Prof. Mubyarto dengan system ekonomi kerakyatan maka negaralah yang memiliki kekuasaan menguasai sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 33 UUD RI 1945.
Akan tetapi perlakuan berbeda pada obyek tanah (angka 3) sesungguhnya setiap orang dapat memiliki hubungan hukum dalam berbagai istilah (hak Milik, hak pengelolaan, hak pakai dsb) yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (pasal 4)
Penjelasan ini akan banyak di jumpai dalam berbagai literatur perundang-undangan yang terkait masalah energy dan sumber daya alam maupun masalah kehutanan. Oleh karena bersifat strategis dan sesuai konsepsi system ekonomi negara kita pada wilayah abu-abu (sosialis-liberal) kita yang kemudian di terjemahkan oleh Prof. Mubyarto dengan system ekonomi kerakyatan maka negaralah yang memiliki kekuasaan menguasai sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 33 UUD RI 1945.
Akan tetapi perlakuan berbeda pada obyek tanah (angka 3) sesungguhnya setiap orang dapat memiliki hubungan hukum dalam berbagai istilah (hak Milik, hak pengelolaan, hak pakai dsb) yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (pasal 4)
Obyek yang di pinjam-pakaikan melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor 649/Menhut-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan …. seluas 561,96 Ha pada hakekatnya adalah kawasan hutan dimana di dalamnya tidak dimungkinkan terjadinya hubungan hukum langsung secara perseorangan/individu yang berarti tidak akan pernah terjadi proses ganti rugi.
Oleh karena secara natural kawasan hutan hidup di atas tanah yang diatasnya melekat unsur hubungan hukum langsung yang di perkenankan oleh Negara maka perlulah pemilahan secara tepat obyek yang mendapat ganti rugi. Pernyataan tegas telah di jelaskan dalam pasal 68 ayat 4 undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan lebih lanjut akan di temukan dalam pasal 24 Permenhut RI. 44/Menhut-II/2012 sebagaimana telah di ubah dengan Permenhut RI No. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan serta pasal 6 dan 11 Permendagri RI Nomor 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
Melekatnya hubungan hukum langsung (baca kepemilikan/penguasaan) pada suatu obyek tanah yang diikuti secara bersama-sama oleh obyek lain (kawasan hutan, mineral) yang tidak dapat memiliki hubungan hukum menjadikan konteks masalah ganti rugi menjadi kabur dan mudah di tarik ke wilayah perbuatan melawan hukum dengan alasan perambahan hutan dan atau ijin berkebun.
Dalam situasi seperti ini tanpa disadari aparat penegak hukum telah di permainkan PT. J. Resources Bolaang Mongondow dan masuk zona hukum administrasi publik yang bukan ranah bidang tugasnya. Suatu bukti, dalam suatu kesempatan saya sempat membaca surat tertulis tertanggal 3 Pebruari 2013 perihal pendampingan ke lokasi dari aparat penegak hukum bersama Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang isinya patut di duga bahwa si A tidak memiliki ijin berkebun dari kementerian terkait.
Lucu,konyol kiranya kalau di negeri republik ini untuk berkebun saja harus minta ijin, kalau begitu kementerian mana yang punya kewenangan memberikan ijin berkebun.
Terlepas dari subtansi ijin berkebun itu, dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa jelas kiranya potensi perbuatan melawan hukum pidana/perdata bagi masyarakat pemilik tanah dengan menggunakan pasal-pasal Undang-Undang 18 tahun 2012 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan tidak terpenuhi.
Kalaupun di paksakan harus terjadi oleh karena sebab kekuatan kekuasaan yang begitu besar (invisible hand) maka akan berimbas munculnya potensi konflik social masyarakat yang parah dan membawa kehancuran. Kalau begitu dimana letak kemaslahatan dari keberadaan investor di negeri totabuan ini kalau kiranya hanya mendatangkan “huru-hara” bagi kehidupan masyarakat.
Sikap hati-hati memilih profile company investor yang mumpuni adalah kunci utamanya dari seorang pengambil keputusan.
Pengangguran terbuka memang harus di minimalkan, pertumbuhan ekonomi daerah perlu untuk di tingkatkan dan itu semua butuh peran serta swasta.
Akan tetapi kalau investor yang datang hanya sekedar membuat keonaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan pemerintah serta mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sepatutnyalah direktur utama kita tempeleng beramai-ramai dan untuk manager eksternal kita tendang pantatnya dan seret ke polisi atas dugaan perbuatan melawan hukum melanggar pasal 385 ayat1 KUHP..
Kembali ke masalah utamanya, fakta sesungguhnya yang terjadi terkait permasalahan ganti rugi tanah blok Bakan Kecamatan Lolayan adalah pelanggaran administrasi yang di lakukan oleh PT. J. Resources Bolaang Mongondow sebanyak 2 kali yakni :
Oleh karena terjadinya pelanggaran hukum administrasi ini maka konsekwensi hukumnya bagi PT. J. Resources Bolaang Mongondow adalah pencabutan ijin pinjam pakai yang telah di berikan dan bukan dalam wilayah hukum pidana/perdata. Penegasan ini terdapat dalam amar kesepuluh SK Menteri Kehutanan RI Nomor 649/Menhut-II/2012 tgl 20 Nopember 2012.
Sebagai penutup Undang – Undang Dasar RI 1945 sebagai konstitusi tertinggi Negara kita, sumber dari segala sumber hukum pasal 28 huruf G telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Lebih lanjut pasal 28 huruf H ayat 4 menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh di ambil alih sewenang-wenang oleh siapa pun.
Jangan sampai ada rakyat kecil yang di kriminalisasi, karena begitu banyak bukti yang bertebaran di luar sana adanya tali temali masalah ini dengan masalah lain. Semoga tidak ada yang di korbankan atau menjadi korban dalam masalah ini. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,