Grasak-grusuk perseteruan ganti rugi tanah di wilayah ruas jalan Kotobangon – Moyag tampaknya belum mereda. Musababnya, dipicu dari pekerjaan pelebaran ruas jalan Sutoyo – Sugiyono dengan bentangan yang terbilang fantastik 21 meter, ini mengakibatkan sebagian besar tanah pekarangan penduduk menjadi hilang, termasuk pula pagar tembok, tempat usaha bahkan rumah tinggal mereka sekalipun. Ruas jalan Sutoyo – Sugiyono merupakan jalan trans Sulawesi yang menghubungkan antara Kota Kotamobagu – Kab. Bolaang Mongondow Timur maka dipastikan berstatus jalan nasional. Ini berarti pekerjaan pelebaran jalan dimaksud sepenuhnya di bawah kewenangan Balai Besar Pekerjaan Jalan Nasional Wilayah X1 Manado.
Di tengah perseteruan yang berlangsung itu, Walikota Kotamobagu Ir Tatong Bara pun angkat bicara, tegas menyatakan tidak ada ganti rugi tanah dalam pelebaran jalan tersebut merujuk pada hasil konsultasi ke Kementerian PU pusat.
Alhasil beragam komentar dan reaksi pun berhamburan di ruang publik bak kembang api di malam tahun baru, menanggapi pernyataan Walikota tersebut. Tak mau meradang, sejumlah dalih dan komentar masyarakat terlontar ke permukaan menyasar para pihak yang patut diduga menjadi biang kerok masalah sehingga perlu diminta pertanggungjawabannya, pokoknya harus ganti rugi kalau mau pelebaran jalan titik.
Alhasil beragam komentar dan reaksi pun berhamburan di ruang publik bak kembang api di malam tahun baru, menanggapi pernyataan Walikota tersebut. Tak mau meradang, sejumlah dalih dan komentar masyarakat terlontar ke permukaan menyasar para pihak yang patut diduga menjadi biang kerok masalah sehingga perlu diminta pertanggungjawabannya, pokoknya harus ganti rugi kalau mau pelebaran jalan titik.
Kecamuk masyarakat Kotobangon - Moyag yang dipertontonkan secara spontanitas itu merupakan sikap protes mereka kepada pemerintah daerah agar juga harus memperhatikan hak-hak pihak ketiga saat membangun fasilitas publik.
Sebenarnya hal ihwal perkara pelebaran jalan seputaran Kotamobagu bukan kali pertama ini dilaksanakan, jauh sebelum berdirinya Kota Kotamobagu pelebaran jalan pun telah sering dilakukan pemerintah daerah.
Sebenarnya hal ihwal perkara pelebaran jalan seputaran Kotamobagu bukan kali pertama ini dilaksanakan, jauh sebelum berdirinya Kota Kotamobagu pelebaran jalan pun telah sering dilakukan pemerintah daerah.
Pelebaran Jalan
Adalah ruas jalan Mogolaing – Mongkonai yang mendapat giliran pertama kali dilebarkan periode tahun 1986 – 1989. Tidak kurang dua kali ruas jalan Adampe Dolot ini terkena pelebaran jalan, sehingga halaman depan rumah orang tua pun teramputasi kurang lebih 6 meter.
Di masa kepemimpinan Walikota pertama Kotamobagu Drs Hi Djaelantik Mokodompit, aksi pelebaran sejumlah ruas jalan pun dilakukan, semuanya lancar-lancar saja dan tidak ada satupun sikap protes masyarakat menolak atas kebijakan ini.
Di masa kepemimpinan Walikota pertama Kotamobagu Drs Hi Djaelantik Mokodompit, aksi pelebaran sejumlah ruas jalan pun dilakukan, semuanya lancar-lancar saja dan tidak ada satupun sikap protes masyarakat menolak atas kebijakan ini.
Kini di masa kepemimpinan Walikota Ir Tatong Bara kebijakan serupa yang dilakoni walikota sebelumnya pun coba diadopsi. Namun sayangnya menuai kecaman keras dari elemen masyarakat, duga-duga,reka-reka dan spekulasi pun berkembang bahwa terjadi perubahan pada ukuran bentangan lebar jalan yang semula adalah 12 meter menjadi 21 meter.
Begitupun soal panjang jalan dari jarak semula 4 KM berkurang menjadi 2 KM. Berubah atau tidak rencana pelebaran jalan tidak ada urusan, sekalipun seluruh area Kel. Kotobangon sampai wilayah Desa Moyag semuanya dijadikan badan jalan yang tidak sekedar jalur transportasi umum namun berfungsi juga sebagai landasan pacu pesawat Boeing, asal di berikan ganti rugi tanah yang layak maka saya yakin, silang sengketa, adu otot, adu mulut akan terhindarkan di ruang publik. Itu berarti stabilitas keamanan terjaga dan pak Kapolres senang, pewarta pun meradang tidak ada berita yang harus di upload ke redaksi.
Tarik ulur yang di balut perdebatan adu mulut saat musim panas tengah berlangsung, adalah bukanlah sebuah pekerjaan yang asyik dilakukan, gelegar amarah dengan suara keras, tinggi melengking sudah pasti ada disana.
Kian memburuknya situasi ini maka ikhtiar persuasif pun dilakukan jajaran Pemerintah Kota Kotamobagu, mencoba peruntungan metode hipnotis Romy Rafael dengan kata-kata lembut, datar dan berulang “tanah itu digunakan untuk kepentingan umum, jadi ikhlaskan saja, ikhlaskan saja”.
Alhasil, argumentasi yang disampaikan walau terbilang takarannya sederhana dan lebih mirip percakapan antara penjaja es kelapa muda dan penjual nasi kuning di bilangan jalur dua namun ternyata berhasil mengurangi eskalasi jumlah masyarakat yang menuntut ganti rugi tanah. Namun tak bisa dinafikan sebagian masyarakat lainnya tetap bersikeras menuntut ganti rugi tanah.
Walau Pemerintah Kota Kotamobagu berdalih menggunakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara, mereka yang bersikukuh menuntut ganti rugi tampaknya tak terpengaruh, diam tak bergeming bak patung bogani.
Parahnya lagi, diakui atau tidak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamobagu yang sepatutnya menjadi corong membela kepentingan rakyat ternyata tidak lebih sekumpulan penyandang difabel (tuna rungu dan tuna netra) dengan ekspresi innocent . Tidak mampu berkata-kata walau sekedar untuk bertanya tertatih-tatih “ kenapa ganti rugi tanah itu tidak ada dan apa dasar hukumnya”.
Adakah terdapat disorientasi penglihatan pada para anggota DPRD Kotamobagu sehingga buta akan persoalan-persoalan rakyat yang terang benderang beterbangan di depan mata. Jika benar itu yang terjadi, sebaiknya para anggota dewan yang terhormat silahkan berkantor saja di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada di Desa Poyowa Besar. Kantor, ruang kerja, kursi, meja, AC, pulpen dan bahkan peniti sekalipun, yang dibeli dengan uang rakyat tidak diperuntukan bagi penyandang difabel, yang hanya Datang, Duduk, Diam, Dengar, Duit (5 D).
Terlepas dari fenomena anggota DPRD Kota Kotamobagu itu, mengingat lingkup perkara pada ranah kepentingan umum maka duduk perkara ini akan dibedah dengan tajam dalam perspektif yang sebenar-benarnya, jauh dari tendesius dan tidak ada motif apapun dibalik kupas tuntas perkara ganti rugi tanah. Mungkin sejumlah telinga akan memerah atau tersinggung membaca tulisan ini, saya garis bawahi saya tidak peduli.
Kiblat Ganti Rugi Tanah
Sering dalam berbagai forum dialog yang bertema ganti rugi tanah, kubu yang menolak pemberian ganti rugi tanah menafsirkan pasal 33 UUD 1945 secara membabi buta.
Pasal ini ditafsirkan sebagai pasal sakral untuk meredam tuntutan ganti rugi masyarakat jika pemerintah hendak menggunakan tanah mereka.
Siapapun oknum yang menggunakan dalih ini, saya berkesimpulan betapa tumpul otaknya, perlu ditendang tulang keringnya, diberi sedikit tamparan dan dijewer kupingnya sekedar untuk mengingatkan pasal ini sebenarnya menjelaskan bentuk system perekonomian Indonesia yang dianut yakni system sosialis-liberal (demokrasi ekonomi).
Referensi hukum yang tepat untuk menyoal tanah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal ini ditafsirkan sebagai pasal sakral untuk meredam tuntutan ganti rugi masyarakat jika pemerintah hendak menggunakan tanah mereka.
Siapapun oknum yang menggunakan dalih ini, saya berkesimpulan betapa tumpul otaknya, perlu ditendang tulang keringnya, diberi sedikit tamparan dan dijewer kupingnya sekedar untuk mengingatkan pasal ini sebenarnya menjelaskan bentuk system perekonomian Indonesia yang dianut yakni system sosialis-liberal (demokrasi ekonomi).
Referensi hukum yang tepat untuk menyoal tanah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Tak terkecuali tanah, penjelasan lebih luas menyangkut kepemilikan harta benda dapat ditemukan pada Undang – Undang Dasar RI 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara kita, pasal 28 huruf G telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang di bawah kekuasaannya.
Lebih lanjut pasal 28 huruf H ayat 4 menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapa pun.
Pembuktian benar tidaknya hak milik tersebut merujuk pada penjelasan pasal 24 ayat 1, 2 huruf K Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, ringkasnya pembuktian hak milik dapat berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) dan atau domisili tinggal 20 tahun berturut-turut tanpa ada yang komplain.
Secara spesifik seluk beluk perkara ganti rugi tanah, dijelaskan secara lugas dalam pasal 5 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan salah satu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah adalah jalan umum.
Lebih lanjut, di paparkan dalam Pasal 1 angka 3 bahwa setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Merujuk pada peraturan ini, muncul pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ganti rugi tanah di ruas jalan Sutoyo – Sugiyono ? Pasal 6 Peraturan Presiden tersebut menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Adakah Pemerintah Kota Kotamobagu membentuk panitia pembebasan tanah sebelum dilaksanakan pelebaran jalan Sutoyo – Sugiyono ?.
Terlepas dari konteks ada tidaknya panitia, maka mudahlah mengurai benang kusut persoalan ganti rugi tanah yang terkesan akibat kesalahan perencanaan Dinas PU yang ditutup-tutupi, siapa aktor utama yang perlu didaulat sebagai pesakitan, memikul tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum melakukan penyerobotan tanah (pasal 385 ayat 1 s.d 6 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara).
Mungkinkah penyerobotan ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau turut bersama-sama ? Lembaga penegak hukumlah yang akan membuktikannya.
Sekedar pembanding, pada beberapa kasus yang sama semisal Kab. Humbahas yang mendapat alokasi pelebaran jalan nasional ruas Doloksanggul – Siborongborong berbandrol Rp. 31.6 Milyar, sebelum dilaksanakan pelebaran jalan tersebut oleh panitia pembebasan tanah melakukan proses ganti rugi tanah masyarakat yang terdampak dengan mengacu pada NJOP.
Begitupun pada kasusjalan desa Lobong yang notabenenya statusnya tidak berbeda dengan ruas jalan Sutoyo – Sugiyono, dua tahun sebelumnya Balai Besar Pekerjaan Jalan Nasional Wilayah XI Manado telah memindahkan jalur jalan tersebut ke bukit diatasnya.
Namun sebelumnya oleh Pemerintah Kab. Bolaang Mongondow melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan dilakukan proses identifikasi siapa pemegang hak milik atas tanah yang telah ditetapkan menjadi lokasi jalan, kemudian negosiasi harga ganti rugi tanah dan tanaman, terakhir masuk fase pembayaran ganti rugi oleh tim pembebasan tanah.
Ringkasnya, ganti rugi tanah masyarakat termasuk segala sesuatu diatasnya wajib dilakukan pemerintah. Tidak ada celah hukum sejauh ini yang memungkinkan pemerintah untuk mengelak dari kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat.
Sangat anomali dan ironi di satu sisi membangun untuk kepentingan rakyat namun disisi lain harus merusak hak milik rakyat, mengabaikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak milik yang sah yang di jamin undang-undang.
Sebagai penutup, silang sengketa persoalan ganti rugi tanah harus sesegera mungkin diakhiri di antara para pemangku kepentingan dengan konsep win-win solution.
Membangun fasilitas publik adalah penting namun perlu didudukan secara sejajar dan berimbang dengan hak-hak kepemilikan masyarakat agar tercipta model pembangunan Kota Kotamobagu yang berbasis partisipasi aktif masyarakat.
Baca juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,