Semenjak ditabuhnya genderang perang memberantas pungutan liar 20 Oktober
2016 silam oleh Presiden Jokowi, maka lalu lintas pemberitaan nasional selalu
saja dibumbui aksi tangkap tangan oleh tim saber pungli
besutan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Parahnya yang banyak terjaring dalam operasi tangan itu umumnya
adalah yang berstatus ASN (aparatur sipil negara) sehingga tidak usah kita semua kaget lagi, hal ini sudah menjadi trending topik yang menjadi buah
bibir banyak orang.
Benar kalau sebuah adegium mengatakan hukum diberlakukan tak
pandang bulu, apakah dia itu berbulu lebat atau tidak semuanya dipandang sama di mata hukum.
Tetapi bukan itu makna
sejatinya tapi maksudnya, siapa pun ia yang bersalah akan dijatuhi hukuman. Pun
tak terkecuali Aparatur Sipil Negara (ASN), kendati dalam posisi sebagai aparatur sipil pemerintah, kalau ia melakukan perbuatan melawan hukum bisa saja dijatuhi sanksi pidana.
Menarik untuk disimak dan menjadi sebuah
pertanyaan, apa resiko seorang ASN mantan terpidana dan bagaimana statusnya
jika sudah menjalani hukuman pidana? Apakah ia harus menjalani hukuman lagi di lingkup pemerintahan tempat ia bekerja?
Fenomena ini coba saya akan ciutkan
dengan berdasar pada perspektif
undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku sehingga ujungnya dapat
menjadi sebuah tameng peringatan dini kepada seluruh aparatur sipil negara.
Sanksi Pemecatan ASN
Jika kita berani menelaah isi Surat
Kepala BKN Nomor K.26-30/V.326-2/99 Tanggal 20 November 2012 perihal PNS yang Dijatuhi Hukuman Pidana, disana sudah
diceritakan dengan sangat gamblang dan terang benderang apa yang harus
dilakukan seorang pejabat Pembina kepegawaian pada ASN mantan
terpidana. Intinya secara mendasar, ASN
mantan terpidana harus dipecat.
Namun isi surat ini sebenarnya lebih
bersifat himbauan dan mengingatkan kepada para kepala daerah saja (pejabat Pembina
kepegawaian) bahwa komitmen membangun pemerintahan yang bersih sangat diutamakan
karena itu aparat pemerintah dilingkup pemerintahannya harus yang
terbebas dari campur tangan masalah hukum.
Merujuk pada pasal 87 ayat 4 huruf b dan d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara maka perintah pemecatan itu terpampang disana.
Sudah sangat tegas menyebut salah satu alasan PNS diberhentikan tidak dengan
hormat “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan
atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau
pidana umum.
Selanjutnya
huruf d, dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana
Hal yang sama juga dikatakan Kepala Bidang Penyiapan Pembinaan
Integritas SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Sri Rahayu mengatakan sebagaimana di rilis kompas.com, Selasa (12/5/2015) pegawai negeri
sipil (PNS) yang terlibat tindak pidana korupsi (tipikor) sekecil apa pun harus
dipecat.
Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
Lebih lanjut disampaikan juga, jika di daerah masih ada PNS mantan terpidana
korupsi sesuai Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
maka kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pers agar melaporkan ke Menpan
RB di Jakarta,” tegas Sri Rahayu saat rapat koordinasi Kebijakan Strategis
dalam Penanganan Tipikor di Pangkalpinang, Senin (11/5/2015).
Pertanyaan berikutnya kemana masyarakat harus melapor ? beruntung saat
ini Menpan-RB sudah meluncurkan program Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Masyarakat
atau disingkat LAPOR melalui situs https://lapor.go.id
sehingga masyarakat luas mendapat ruang untuk menyampaikan unek-uneknya secara
terbuka.
Nada tidak mengenakkan dan berkesan
mencibir dilontarkan juga oleh Anggota Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho sebagaimana dirilis situs kemendagri.go.id (didesak
pecat pejabat daerah terpidana korupsi) bahwa, pengangkatan PNS yang pernah
menjadi napi korupsi untuk menjadi pejabat teras di daerah bukan hanya
menunjukkan rendahnya komitmen kepala daerah dalam pemberantasan korupsi.
Hal
itu juga berarti mengangkangi proses
reformasi birokrasi di daerah yang ternyata dijalankan semau-maunya.
Dari
beberapa penjelasan yang sudah saya beberkan tadi maka dapat ditarik suatu garis
kesimpulan bahwa pemecatan kepada seorang Aparatur Sipil Negara mantan
terpidana dapat dilakukan dengan catatan :
- Memenuhi unsur-unsur pidana dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor
- Pidana penjara yang diputus hakim berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap
- Tindak pidana korupsi yang dilakukan ada hubungannya dengan jabatan dengan hukuman penjara paling singkat 2 tahun.
Point
penting disini yang saya mau utarakan bahwa bagi yang merasa dirinya seorang aparatur
sipil negara maka sudah sepantasnya, seharusnya dan wajib untuk selalu bersikap
berhati-hati dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat.
Penyimpangan
dalam jabatan karena keliru mengambil kebijakan terutama sekali yang
terkait dengan pengelolaan anggaran akan berakibat sangat fatal, masa depan pun
nyaris saya pastikan menjadi suram.
Sebab itu bagi pejabat segera hentikan
polah tingkah bak ular mandi oli bekas, maksud
hati biar licin dan terlihat kinclong di mata pimpinan namun di balik itu menjadi modus mengais lembaran
rupiah guna mengisi pundi-pundi kantong kiri kanan pribadi.
Ini akhirnya cuma membawa
diri anda sempoyongan dan bermuara lebih
cepat merasakan kerangkeng dinginnya jeruji
penjara. Tidak percaya ?
Perspektif
PP 53 tahun 2010
Lepas dari soal penjara itu, bagaimana konstruksi
hukum bagi PNS yang melakukan tindak
pidana menurut PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS ?
Merunut pada peraturan ini maka ASN mantan
terpidana dianggap indisipliner. Memang
peraturan pemerintah ini tidak secara rinci mengatur sanksi bagi ASN yang mantan terpidana,
namun dalam pasal 13 ayat 1 peraturan tersebut menyebut hukuman disiplin berat akan
dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 angka 1”.
Adapun tafsir wewenang menurut Menurut Louis A.
Allen dalam bukunya, Management and Organization adalah jumlah kekuasaan (powers) dan hak
(rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan. Jadi wewenang itu sesungguhnya merupakan hasil
delegasi atau pelimpahan wewenang dari atasan ke bawahan dalam suatu organisasi
yang dapat dibuktikan dengan adanya surat keputusan.
Nah dalam PP 53 Tahun 2010 ini penyalahgunaan wewenang
(tindak pidana) masuk kategori pelanggaran disiplin berat sehingga tidak
mutlak sanksi pemecatan dilakukan, masih ada 4 pilihan sanksi lain yang dapat
dijatuhkan (pasal 7 ayat 4).
Itu semua kembali lagi
kepada kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian guna menimbang-nimbang,
sanksi mana yang paling pas untuk diambil bagi ASN mantan terpidana, apakah di
pecat, diberi penurunan pangkat, penurunan jabatan atau pembebasan dari jabatan.
Pun lebih tegas lagi sudah dimuat dalam surat edaran Mendagri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 bahwa kepala
daerah dilarang mengangkat ASN mantan terpidana ke dalam jabatan struktural.
Lantas kalau itu tetap dilakukan, apa
resikonya bagi seorang kepala daerah ?
Undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan
daerah sudah menjawabnya dalam pasal 78
ayat 2 bahwa seorang kepala daerah dapat diberhentikan karena menelikung peraturan yang
berlaku yakni melanggar sumpah janji sebagaimana disebut dalam pasal 61 ayat 2, menjalankan segala undang-undang dan
peraturan dengan selurus-lurusnya.
Jadi kalau alasan kemanusiaan dikesampingkan, maka demi menjaga kursi panas kepala daerah tetap aman, etika pemerintahan tetap tegak berdiri serta tidak lumpuh dan runtuhnya proses reformasi birokrasi maka dengan berat hati sanksi pemecatan adalah
pilihan yang terbaik untuk di ambil seorang pejabat Pembina kepegawaian pada ASN
mantan terpidana walau itu sesungguhnya terdengar sangat jahat.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah pepatah hukum lex dura sed tamen scripta (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam,
tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,