Jumat, 10/2 saat membaca berita di salah satu situs media online
local (bolmora.com), mata saya langsung tertuju pada tagline “dugaan praktek
pungli oleh dua sekolah”. Rasa penasaran
pun bergelayut dalam pikiran dan saya putuskan untuk mendalami, siapa dua
sekolah dimaksud yang berani berbuat nakal itu. Oh ternyata MTs Negeri I
Kotamobagu dan SMP N I Kotamobagu.
Sejauh pengetahuan saya praktek pungutan liar memang sudah menjadi maharaja
di hampir semua pelayanan pemerintah.
Sektor pendidikan adalah salah satunya,
walau pemerintah telah bersikeras membebaskan para peserta didik dari rupa-rupa
pungutan pendidikan lewat berbagai
program tapi selalu saja ada alasan dari
pihak sekolah untuk melakukan pungutan liar.
Saya tidak melihat alasan yang cukup kuat untuk membenarkan seorang
kepala sekolah melakukan pungutan liar kecuali untuk satu alasan “rakus”.
Demikian kencangnya isu pemberantasan pungutan liar yang digagas presiden
Jokowi 20 Oktober 2016 lalu dalam rapat koordinasi dengan seluruh gubernur
Indonesia di istana merdeka tampaknya
tidak membuat nyali oknum pelakunya patah arang.
Parahnya juga komite sekolah
yang diharap menjadi media penyeimbang dalam setiap kebijakan di sekolah, hanya
diam seribu bahasa seolah-olah turut mengaminkan pungutan liar itu di
praktekkan.
Kalau di bilang inovasi yang kebablasan dari pihak penyelenggara
pendidikan sangat pas benar. Tercatat ada 58 pungutan yang kerap dipungut disekolah sebagaimana di rilis
situs radarbolmongonline.com “58 jenis
pungutan dilarang di sekolah”.
Fakta ini dapat menjelaskan modus pendidikan
masih menjadi target incaran untuk meraup keuntungan pribadi oknum-oknum
tertentu yang dilakukan secara berjamaah.
Temuan ombudsman di MTs dan
SMP Negeri I Kotamobagu patut di acungkan jempol 4 jari dan ini membuktikan
Kotamobagu masih belum steril 100 persen dengan penyakit pungutan liar.
Apakah
ini signal kuat masih lemahnya system pendidikan di Kotamobagu ataukah ini
murni tanda awas bahwa masih ada
oknum-oknum rent seeking yang berkeliaran di sekolah-sekolah bermental perampok.
Satu hal yang pasti, orang tua siswa tentu sangat berkeberatan
dengan adanya pungutan liar dengan atas nama apapun. Karena, disisi seberang
jaminan penyelenggaraan pendidikkan yang berkualitas sudah diberikan pemerintah lewat aneka macam
kucuran dana segar.
Lepas dari soal dana segar itu, istilah pungutan liar atau pungli
sebenarnya tidak dikenal sama sekali dalam istilah hukum. Jika kita cermati
secara tajam pasal-pasal dalam KUHP tidak ada satupun pasal yang menggunakan
istilah ini.
Begitupun juga dalam undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi maupun undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang.
Istilah pungli ini muncul diluar literatur hukum, menukil terjemahan wikipedia pungutan
liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya
dikenakan atau dipungut.
Apakah
pungli dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi daerah ? Itu sudah pasti, karena ini menjadi
salah satu biang kerok penyumbang hight cost
economy(ekonomi biaya
tinggi).
Pun
bagi Pemerintah Kota Kotamobagu, ancaman gagalnya tahun investasi di tahun 2017 ini tampaknya berpeluang akan terjadi. Tak
urung Walikota Kota Kotamobagu harus segera bersikap tegas dan terus menerus
mengingatkan serta berani mencopot
pejabat yang terindikasi melakukan pungli.
Kalau itu tidak dilakukan, saya khawatir dan berani bertaruh tahun investasi hanya sebuah slogan omong kosong.
Ancaman Pidana Pelaku Pungli
Jika begitu maka seyogyanya pelaku pungli bisa dijerat dengan pasal
378 dan 423 KUHP dengan ancaman penjara
maksimal 9 bulan dan 6 tahun.
Baca juga
Tidak berbeda jauh dengan isi pesan pasal 12 e Undang-undang 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku pungli
diancam pidana penjara minimal 4 tahun
dan maksimal 20 tahun atau penjara seumur hidup dengan denda 200 juta sampai
dengan 1 milyar.
Hanya saja belakangan aparat penegak hukum cuma diam bak ayam yang
lagi mengeram seonggok telur, seolah pungli adalah peristiwa “somu-somu”
ibarat siluman yang sulit dilacak
keberadaannya, padahal pungli bukan delik aduan sehingga ketika terendus ada
praktik pungli maka seharusnya langsung melakukan langkah penyelidikan.
Apalagi ini telah diperkuat dengan
dibentuknya saber pungli (sapu bersih pungutan liar) November 2016 lalu oleh Kapolri
terpilih Jenderal Polisi Tito Karnavian sesuai Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Pungli bukanlah gogohia (baca panu) yang susah dilacak
tempatnya bagi yang kulitnya terang. Aparat penegak hukum yang professional dan
terlatih mudah sebenarnya melacak siapa-siapa pelakunya, bagaimana caranya,
berapa besarnya dsb.
Pertanyaan seriusnya, untuk alasan apa, penyelidikan praktik pungli
belum dilakukan Polres Bolaang Mongondow. Jangan diabaikan informasi yang masuk ke ruang publik dan dianggap
sepele hanya sebuah rumor. Sebab saat ini mabes Polri sudah meluncurkan situs https://www.saberpungli.id sehingga
kita dapat beramai-ramai mengkritisi dan melaporkan setiap peristiwa
pungli di sekitar kita.
Syak yang memercik di jidat saya, jangan-jangan hal serupa terjadi
di lingkaran aparat penegak hukum, tong sama tahu kwa e, skud-skud jo bro.
Mundur ke belakang, sejarah masa lalu membuktikan hampir tidak
pernah kita dengar bersama seorang pelaku pungli terjerembab dalam kerangkeng
jeruji besi. Biasanya hukuman yang dikenakan kepada pelaku pungli bersifat
administratif saja.
Menarik untuk dikaji lebih jauh, bagaimana dengan aparatur sipil
negara yang melakukan pungli itu apakah dapat di pecat ?
Disini letak masalahnya, Peraturan Pemerintah 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin PNS tidak mengatur secara spesifik masalah pungli itu, cuma dikatakan
di sana jika terbukti bersalah melakukan pungli dapat diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan
putusan hakim dengan hukuman penjara paling singkat 2 tahun keatas.
Nah pada
posisi inilah sejatinya integritas seorang walikota Kotamobagu di uji, berani
tidak untuk menjinakkan kepala sekolah
MTs dan SMP Negeri I Kotamobagu yang tega berbuat nakal lewat hak preogratif
yang dimiliki.
Akhirnya saya cuma mau utarakan, masyarakat Kotamobagu harus
dimanjakan dengan pelayanan publik yang memadai dan jauh dari sentuhan pungli. /div>
Sebuah adegium hukum menyatakan interpretatio cessat in claris bahwa jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas,
maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap
kata-kata yang sudah jelas, berarti
penghancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,