Seolah gayung bersambut dengan misi pengembangan pertanian organik Walikota Ir Tatong Bara, Radar Bolmong, Selasa 13 Januari 2015 menurunkan tajuk pemberitaan “KK siap sukseskan swasembada pangan”.
Bekerja tanpa memiliki sasaran yang jelas dan hanya mengikuti naluri pribadi yang miskin kreatifitas kerja itulah menjadi penanda tipikal pejabat bermental bandit yang banyak berserakan di sejumlah SKPD. Jikalau di tuntut untuk berinovasi sebagaimana perintah undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah maka untuk perkara sekedar untuk belajar saja mereka akan melakukan manuver-manuver belut dengan menyampai alasan melingkar-lingkar agar tidak tersesat jauh ke tengah rimba inovasi.
Semoga ini bukan jargon politik semata, dan cukup menarik perhatian saya Walikota Kota Kotamobagu sampai berani menyatakan Kotamobagu siap mendukung swasembada pangan dengan target 5.8 ton gabah kering. Memorandum of Understanding (MOU) pun yang di sodorkan Gubernur Sulawesi Utara Sony Sumarsono sudah di tandatangani.
Tentu apa yang dinyatakan Walikota Kotamobagu saat di wawancarai awak media seusai penandatanganan MOU bukan omong kosong belaka. Apa dan bagaimana kiat-kiat peningkatan kapasitas produksi tanaman padi tak ditabukan sudah di rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Dengan mengingat luas areal lahan persawahan di wilayah Kotamobagu tidak lebih 1.725 Ha maka sebetulnya rencana-rencana kerja unggulan pasti telah digagas secara matang. Dengan begitu apa yang ditargetkan walikota itu tidak hanya menjadi sebuah mitos dan halusinasi belaka.
Pada titik ini sejatinya untuk mencapai skala produksi padi sawah 5.8 ton Gabah Kering Giling (GKG) sebenarnya tergolong sangat mudah dan bahkan bisa melebihi, dengan satu catatan kritis para petani menerapkan pola pertanian organik.
Bukan tanpa alasan itu saya utarakan,berkaca semisal di Kabupaten Sukoharjo saat panen raya padi sawah oleh Presiden Jokowi dan Mentan Amran Sulaeman Oktober 2015 lalu, dengan menggunakan benih IPB 3S dipadukan metode denfarm 3 in 1 jumlah produksi padi sawah bisa mencapai 10,5 ton/Ha GKG.
Menariknya pada kesempatan panen raya tersebut presiden mengungkapkan "yang perlu saya pastikan soal jumlah hasil panen. Kalau satu hektare bisa menghasilkan 10-11 ton, nanti akan dikembangkan dan dibesarkan di wilayah dan daerah lainnya,".
Pernyataan presiden ini merupakan sinyalemen bahwa target swasembada beras yang di canangkannya tahun 2017 akan di pacu lewat metode pertanian organik. Sehingga tidaklah terlalu mengejutkan di tahun 2016 ini Kementerian Pertanian RI banyak menggagas program-program pengembangan pertanian organik seperti optimasi dan pemulihan kesuburan lahan 275 Ha, pembangunan 100 desa pertanian organik, bantuan berupa 250 unit pengelola pupuk organik yang dikucurkan dalam bentuk anggaran 230 juta/kelompok dsb.
Terlepas dari soal program-program pertanian itu, di wilayah Kotamobagu sendiri rata-rata produksi padi sawah secara agregat bergerak masih cukup landai baru pada kisaran 4 - 5 ton/Ha Gabah Kering Panen (GKP).
Jika di telisik lebih dalam akar masalahnya, memang budaya kerja petani Kotamobagu sangat berbeda dengan komunitas petani di pulau jawa yang tergolong adaptif.
Akibat luas areal persawahan yang di milikinya semakin sempit, maka mereka berupaya mengoptimalkan produktivitas lahan sempit tersebut dengan beralih ke pola pertanian organik yang di padukan metode-metode pertanian terbarukan seperti metode 3 in 1, haztan, porni dsb.
Disinilah duduk perkaranya, untuk mewujudkan budaya kerja petani seperti itu tidak bisa dibiarkan melalui riak-riak alamiah, masih diperlukan campur tangan Pemerintah Kota Kotamobagu untuk mendorong bertani secara organik lewat kebijakan yang bersifat stimulus (merangsang).
Fokus pandang mempertegas kebijakan dimaksud dapat berupa pemberian insentif, asuransi pertanian, sertifikasi lahan, BUMD penampung hasil, sertifikasi produk, penyiapan pasar organik, fasilitator pendamping pertanian organik, festival pangan organik, bantuan saprodi organik, dukungan teknologi hijau, pengolahan produk turunan perkebunan yang bernilai tambah tinggi (misal gula semut anti oksidan yang di campur ekstrak kulit manggis), pusat inovasi pertanian organik (misal, pembuatan tisu/kertas berbasis pelepah pisang, daun nenas) dan masih banyak lagi.
Kesemuanya ini patut untuk di hadirkan di tengah-tengah kehidupan petani. Namun sayangnya hal itu harus mangkrak karena persoalan sepele yakni kebijakan pendukung setingkat peraturan daerah tentang pertanian organik belum ada hingga saat ini.
Akan halnya pemahaman pertanian organik sejauh ini masih banyak ditafsirkan orang cuma sebatas pada masalah penggunaan pupuk organik. Ini pemahaman yang keliru, bahwa jika dikatakan menjadi sumber kinerja instansi teknisnya melempem, pas benar.
Sialnya ini merupakan rentetan dari bidang-bidang yang ada di instansi teknis yang enggan bersungguh-sungguh untuk menopang misi walikota di bidang pertanian organik.
Sebagai contoh di Dinas Pertanian, bidang Tanaman Pangan, bidang ketahanan pangan serta bidang perikanan dan peternakan di tahun 2015 lalu berdasar laporan (terkonfirmasi) minim aksi daya kejut bahkan tidak sekalipun menerapkan program-program kerja pertanian organik.
Perilaku ini jelas mengindikasikan pengetahuan pejabatnya sangat pas-pasan, tidak tahu program-program kerja pertanian organik yang perlu di gagas.
Sekiranya di adakan uji kompetensi terbuka kepada mereka maka bisa di pastikan mereka ada di kuadran buncit yang cuma di huni kaum imbisil (orang yang mengidap penyakit suka memuliakan diri sendiri padahal alay, sampah, limbah yang tak berguna dan tidak memberikan sumbangsih apa-apa)
Pola perilaku kerja pejabat seperti itu tak berbeda jauh dengan perilaku para bandit. Tampaknya menyampaikan laporan memukau masih cukup ampuh dijadikan senjata oleh mereka untuk menekuk kemarahan pimpinannya, “siap, beres, lagi di proses”. Namun sesungguhnya yang terjadi ada upaya-upaya menelikung program kerja walikota Ir Tatong Bara.
Baca juga
Bekerja tanpa memiliki sasaran yang jelas dan hanya mengikuti naluri pribadi yang miskin kreatifitas kerja itulah menjadi penanda tipikal pejabat bermental bandit yang banyak berserakan di sejumlah SKPD. Jikalau di tuntut untuk berinovasi sebagaimana perintah undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah maka untuk perkara sekedar untuk belajar saja mereka akan melakukan manuver-manuver belut dengan menyampai alasan melingkar-lingkar agar tidak tersesat jauh ke tengah rimba inovasi.
Kembali lagi, kalau begitu maka target swasembada pangan yang tegas di dengungkan walikota saat penandatanganan MOU selasa lalu dengan gubernur Sony Sumarsono, bak sebuah cerita komik super hero flying sword. Enak di baca yang membuat emosi pembacanya naik turun, seolah-olah menjadi tokoh pahlawan dalam bacaannya namun sayangnya di akhir cerita harus mati di kepung bandit-bandit bertopeng.
Kira-kira begitulah tragedy dari cerita swasembada pangan sang Walikota Kotamobagu jika tidak ada ikhtiar untuk menggeser pejabat-pejabat bermental bandit. Mereka merupakan virus yang cuma menggerogoti, menggerus, menggeruk keuntungan pribadi yang berujung memperburuk citra wajah pemerintahan saat ini.
Terlepas dari urusan virus itu, satu kabar yang menggembirakan bagi masyarakat petani, jumat malam 15 Januari 2016 saudara Beggi Ch Gobel selaku anggota badan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kotamobagu menyampaikan lewat pesan singkat bahwa “betul Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengembangan Pertanian Organik telah di masukan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) sejak November 2015 lalu.
Terlepas dari urusan virus itu, satu kabar yang menggembirakan bagi masyarakat petani, jumat malam 15 Januari 2016 saudara Beggi Ch Gobel selaku anggota badan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kotamobagu menyampaikan lewat pesan singkat bahwa “betul Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengembangan Pertanian Organik telah di masukan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) sejak November 2015 lalu.
Terobosan politisi Partai Amanat Nasional ini bersama rekan-rekannya di badan legislasi menunjukkan mereka sangat peduli dengan persoalan-persoalan rakyat, tahu betul apa-apa yang menjadi kebutuhan masyarakat petani Kotamobagu. Cukup beralasan dan tidak berlebihan jika politisi se kelas Beggi Ch. Gobel perlu di dorong terus untuk berkiprah menjadi corong rakyat di parlemen.
Sebagai penutup, kombinasi regulasi yang tepat dan pejabat yang berkompeten di bidangnya akan sangat bagus mendongkrak pencapaian target-target kerja yang di pasang pemerintah Kotamobagu, termasuk untuk urusan swasembada pangan.
Sebagai penutup, kombinasi regulasi yang tepat dan pejabat yang berkompeten di bidangnya akan sangat bagus mendongkrak pencapaian target-target kerja yang di pasang pemerintah Kotamobagu, termasuk untuk urusan swasembada pangan.
Ini langkah yang cukup realistis dan sudah waktunya cara-cara demikian itu di praktekkan dalam pemerintahan yang berjalan sehingga akan terwujud apa yang dinamakan good governance (tata kelolah pemerintahan yang baik) sebagaimana isi pesan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.
Baca juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,