Radar Bolmong Kamis 8 Oktober 2015 merilis pemberitaan nada kegentingan politikus PAN saudara Beggi Ch. Gobel bertajuk “Awas Silpa apbd besar tahun 2015”.
Alih-alih pernyataan ini semoga bukan sekedar
periuh atau mewakili dari komunitas pengusung ungkapan “kaya intrik
miskin karya”, dapat diukur dari alasannya yang sangat masuk akal
sehat yakni periode waktu tahun anggaran 2015 yang sebentar lagi akan
berakhir pasca pembahasan APBD perubahan.
Adalah 86 Milyar belanja langsung yang menjadi biang keladi munculnya rasa khawatir personil komisi II itu, yang di perkirakan tidak akan terpakai semua sampai ditutupnya tahun anggaran 2015 ini di 31 Desember nanti.
Satu
hal menarik menjadi titik perhatian saya, pernyataan mengebu-gebu
“potensi sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) akan menghantui tahun
anggaran 2015.
Ini merupakan fenomena menarik yang sejauh ini marak menjadi petaka tahunan dalam system tata kelolah keuangan daerah.
Jika
menelisik sedikit kebelakang, di satu sisi APBD, oleh pemerintah
daerah telah diprediksikan akan mengalami defisit, yakni pendapatan
daerah tidak dapat menutupi seluruh belanja daerah.
Sementara disisi
yang berbeda timbul rasa khawatir munculnya Sisa Lebih Pembiayaan apbd yang besar.
Pertanyaan seriusnya, mengapa bisa terjadi perkiraan dalam anggaran bertolak belakang dengan realisasinya ?
APBD
sebenarnya merupakan rencana keuangan pemerintah daerah yang kerangka
anatominya terdiri atas organ pendapatan daerah, belanja daerah dan
pembiayaan daerah.
Berdasar
urut urutan peristiwa, APBD ini disusun melewati sebuah proses
bersifat partisipatif yang tidak akan saya uraikan secara panjang lebar
disini, pada akhirnya hasil proses itu disepakati dan ditetapkan
bersama oleh kepala daerah dan DPRD dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda).
Pada
proses inilah, pemerintah daerah dengan berat hati menggunakan pola
anggaran defisit. Hal ini sebenarnya dipicu oleh salah satunya konsep
penganggaran berbasis kinerja itu sendiri yang telah merangsang syahwat
pemerintah daerah untuk menampung lebih banyak kebutuhan publik dan
aparatur daerah dalam APBD dengan rupa-rupa pertimbangan.
Akibatnya,
beban APBD akan tinggi sehingga perlu ditutup dengan sumber penerimaan
baru agar nantinya program/kegiatan yang sudah disetujui DPRD
sebelumnya dapat di eksekusi di tahun anggaran berjalan.
APBD
yang diperkirakan defisit itu, sesuai ketentuan pasal 57 ayat 3
Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
maka ditambal sulam melalui rekening pembiayaan.
Untuk
urusan berapa batas toleransi besarnya defisit APBD, itu diatur setiap
tahun melalui Peraturan Menteri Keuangan, namun biasanya bergerak pada
kisaran 3.5 persen sampai 5.5 persen dari PDB (baca : potensi fiscal).
Perbedaan SiLPA dan SILPA
Jika melihat sekilas pada sub tulisan ini, mungkin anda menyimpulkan keduanya sama tapi sesungguhnya dua kata itu berbeda.
Sederhananya,
yang satu “SiLPA” menggunakan huruf “i” kecil dan yang lainnya “SILPA”
dengan huruf “I” besar yang secara akronim sering di baca Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran.
Lebih
jauh, SiLPA diberi arti yang longgar dalam pasal 1 angka 31
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, dan pasal 1 angka 55 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun
2011, sebagai adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran
anggaran selama satu periode anggaran”.
Namun pada Lampiran III Kebijakan Penyusunan APBD, angka 3 Pembiayaan Daerah, huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, SILPA diberi arti Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berjalan.
Contoh
kasatmatanya, realisasi penerimaan daerah Pemerintah Kotamobagu tahun
anggaran 2013 adalah Rp. 500 milyar, dan realisasi belanja tahun itu
Rp. 400 milyar, maka SiLPA APBD-nya adalah Rp. 100 milyar.
Arti
yang kurang lebih hampir sama dapat ditemukan juga dalam pasal 60 ayat
(1) huruf a, dan paragraf 1 pasal 62, serta paragraf 1 pasal 137
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, SiLPA diberi arti “Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya”.
Jika
ditelusuri satu persatu dari keseluruhan pasal-pasal yang ada pada
kedua peraturan perundang-undangan ini, maka hanya SiLPA (i kecil) yang
mendapat tinjauan arti sedangkan SILPA (I kapital ) tidak.
Namun pada Lampiran III Kebijakan Penyusunan APBD, angka 3 Pembiayaan Daerah, huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, SILPA diberi arti Sisa Lebih Pembiayaan Tahun Berjalan.
Dalam
beberapa literatur keuangan yang dulu saya pelajari, SILPA
didefinisikan sebagai selisih antara surplus/defisit anggaran dengan
pembiayaan netto.
Inilah
yang menjadi fokus nada kekhawatiran saudara Beggi Ch Gobel seperti
diutarakan di awal tadi. Terjadinya SILPA APBD yang besar di titik ini
sebenarnya berlatar belakang adanya komponen pembiayaan neto yang
diperhitungkan dalam penentuan angka SILPA. Pembiayaan itu sendiri
mencakup salah satu sumbernya adalah SiLPA tahun sebelumnya.
Penyebab Silpa Apbd yang besar
Di
beberapa kabupaten/kota di Indonesia, pemerintah daerahnya mengambil
kebijakan bahwa SILPA APBD harus bernilai 0 (tanpa nilai rupiah).
Artinya, diproyeksikan tidak ada lagi sisa uang rakyat di akhir tahun
yang akan datang (anggaran berimbang).
Baca juga
SILPA bernilai nol didapatkan dari nilai pembiayaan netto yang sama dengan surplus/defisit. Rencana nilai SILPA sama dengan nol ini menurut hemat saya kurang dapat di kunyah oleh akal sehat, mengingat pada akhir tahun anggaran selalu dihiasi fenomena sisa. Ada beberapa kata kunci sebab musababnya :
Disamping itu pula, faktanya hantu yang namanya SILPA pasti selalu akan datang di akhir tahun kendati tidak diundang.
SILPA bernilai nol didapatkan dari nilai pembiayaan netto yang sama dengan surplus/defisit. Rencana nilai SILPA sama dengan nol ini menurut hemat saya kurang dapat di kunyah oleh akal sehat, mengingat pada akhir tahun anggaran selalu dihiasi fenomena sisa. Ada beberapa kata kunci sebab musababnya :
- Proses penganggaran di tingkat eksekutif itu sendiri membuka ruang terjadinya budget slack (kesenjangan anggaran), yaitu itu mark-down (menurunkan target PAD) dan mark-up (baca pengelembungan anggaran untuk urusan belanja). Pada konteks ini, sejatinya setiap pemerintah daerah menggunakan dasar hitung-hitungan potensi rill PAD, bukan bersifat perkiraan (incremental) semata. Pun menyangkut urusan belanja, dalam penentuan pagu indikatif SKPD harus menggunakan formula skenario variabel serapan anggaran, Lakip, skala prioritas program yang kesemuanya diformulasikan dalam bentuk indeks dan bobot tertimbang. Persis sama ketika Kementerian Keuangan RI menentukan besaran DAU Kab/kota menggunakan formula DAU = variabel alokasi dasar + fiskal gap. Sehingga, suatu SKPD yang tingkat serapan anggaran tahun sebelumnya abal-abal, boleh jadi tahun anggaran berikutnya mendapat nilai pagu yang lebih kecil sesuai daya jangkaunya mengolah keuangan ditahun anggaran sebelumnya.
- Adanya niat untuk membuat dana contigency (cadangan) dalam bentuk SILPA guna mengemban misi pada perubahan anggaran tahun berikutnya. Di perubahan itu, SILPA berubah bentuk menjadi SiLPA yang merupakan salah satu sumber pembiayaan dalam APBD. Angka SiLPA ditentukan sewaktu jumlah riilnya belum diketahui, maka setelah LKPD tahun sebelumnya telah diperiksa oleh BPK RI akan selalu ditemukan polemik perbedaan angka SiLPA dalam Peraturan Daerah APBD dengan SILPA tahun sebelumnya yang riil.
Di
titik ini dapat dilihat bahwa SiLPA dan SILPA sesungguhnya adalah
saudara kembar namun berbeda ibu/bapak (baca : beda tahun anggarannya).
Disamping itu pula, faktanya hantu yang namanya SILPA pasti selalu akan datang di akhir tahun kendati tidak diundang.
Mengurangi Silpa APBD
Sisa
Lebih Pembiayaan (SILPA) yang besar di akhir tahun berdasar pada
hasil-hasil penelitian yang ada, cenderung disebabkan oleh tidak
terpakainya seluruh anggaran akibat kekaburan beberapa peraturan.
Peraturan
itu semisal petunjuk teknis DAK Pendidikan yang sampai berakhirnya
tahun anggaran berjalan menimbulkan multitafsir, pun termasuk peraturan
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang tidak jelas.
Demikian
pula perkara dana transfer dari pemerintah pusat/propinsi yang sampai
dengan disusunnya APBD Perubahan masih menggunakan pagu sementara untuk
Dana Bagi Hasil.
Inilah
biang kerok munculnya SILPA APBD yang besar di akhir tahun yang tidak
bisa di elakan, yang sering membuat APBD terpojok ke sudut sempit. Tekad
untuk melakukan iniasi menumbangkan ruang terjadinya SILPA besar harus
dibuat dan diambil bersama oleh eksekutif – legislatif sesuai
kewenangan.
Untuk memulai langkah hijrah ini dapat dilakukan dengan dua
opsi :
pertama
bersama-sama memformulasikan dan menyepakati formula penentuan pagu
indikatif SKPD sebagaimana berbuih-buih telah di paparkan tadi
kedua menyusun sektor basis sebagai referensi utama untuk menggelontorkan bergunung-gunung uang rakyat itu.
Akhirnya,
tafsir SILPA APBD yang besar di tahun 2015 dan tahun-tahun anggaran
berikutnya akan dapat dikurangi jika sudah ada sebelumnya usaha untuk
mengatasi itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,