Dari penjelasan sang kaisar ini sepakat kita boleh katakan masalah ini sebetulnya merupakan penyakit bawaan pada tingkat akut yang selalu kambuh dan menggerogoti kesehatan pemerintah daerah Kab. Bolaang Mongondow.
Hari itu Senin 1 Agustus 2016 saat saya lagi asik-asiknya menyerumput secangkir kopi hasil pesanan dari bilik jendela kantor ke kantin sebelah, tiba-tiba dikejutkan riuh rendah suara yang mirip pasar malam.
Ada apa ini, selidik poh ternyata hari itu bertempat di kantor Bupati Bolaang Mongondow masyarakat Desa Tiberias kecamatan Poigar bermaksud menyampaikan kegeraman dan tuntuan mereka kepada pemerintah daerah. Bergegas saya bergabung dengan pendemo yang saat itu sudah tiba di depan halaman kantor Bupati Bolaang Mongondow untuk mencari tahu inti masalahnya.
Orasi dari koordinator pendemo Firdaus dan Abner Patras coba saya simak dan sekali-kali melirik tulisan-tulisan yang tertera dalam kertas kartun yang mereka bawa.
Siapa tahu asupan pengetahuan duduk perkaranya bisa lebih cepat mengisi batok kewarasan saya ketimbang harus bercapek-capek berdiri mendengar semua uneg-uneg yang tampak sudah muncrat kemana-mana.
Alhasil justru tambah bingung, ya sudah bak patung bogani saya putuskan mengikuti saja skenario cerita yang terlanjur dimulai.
Rupanya masyarakat Desa Tiberias gerah bertanduk-tanduk dengan ulah PT Melia Sejahtera yang disinyalir telah bertindak tidak sopan pada masyarakat.
Pemerintah daerah pun kena getahnya dan malah balik di pojokan karena dianggap abai dan kurang teliti menerbitkan beberapa dokumen perizinan sehingga mereka minta izin hak guna usaha perusahaan dicabut.
Di tengah tudingan miring yang beterbangan kemana-mana, Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta beberapa pejabat terkait termasuk sekretaris daerah yang saat itu berada di tempat dengan sigap memberikan penjelasan yang dapat dikunyah akal sehat masyarakat.
Cara ini cukup bagus dan sangat pas, apalagi ditutup dengan
titik kesimpulan seperti yang disampaikan sekretaris daerah Drs Ashari Sugeha bahwa
akan dibentuk tim kajian investasi untuk mencari tahu apa yang dikeluhkan masyarakat.
Saat demo tengah berlangsung, agar jauh dari tafsir sesat yang membuat saya tergelincir dalam fitnah maka iseng-iseng saya mengais informasi pada beberapa warga yang ada sesungguhnya apa yang terjadi dan mengapa mereka keberatan terhadap PT Melia Sejahtera ? ternyata titik tekan masalah ini cuma gara-gara masyarakat dilarang berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan, dengan pernyataan tanah ini milik perusahaan bukan tanah negara.
Saat demo tengah berlangsung, agar jauh dari tafsir sesat yang membuat saya tergelincir dalam fitnah maka iseng-iseng saya mengais informasi pada beberapa warga yang ada sesungguhnya apa yang terjadi dan mengapa mereka keberatan terhadap PT Melia Sejahtera ? ternyata titik tekan masalah ini cuma gara-gara masyarakat dilarang berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan, dengan pernyataan tanah ini milik perusahaan bukan tanah negara.
Peristiwa ini jelas dan sangat kentara ada sikap saling memandang remeh di antara keduanya. Ibarat orang di puncak gunung yang tinggi dan melihat orang dibawahnya begitu kecil, tapi pada saat yang sama orang yang dibawah juga melihat orang yang dipuncak gunung itu begitu kecil. Walhasil kalau begitu akan sulit menemukan kata sepakat yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Hak Guna Usaha
Lepas dari puas tidak puas itu, seolah menjadi tradisi yang dilembagakan kegiatan investasi dan kepentingan masyarakat akan tidak pernah sejalan, berbenturan dan
harus saling menjegal.
Manuver-manuver belut pun tak lupa biasanya akan mengisi ruang kosong perseteruan di antara keduanya namun akhirnya sadar atau tidak masyarakat juga yang akan menjadi kuda tunggangan.
Saya menangkap aroma ada kepatutan yang dilanggar dari kejadian ini , entah apa itu. Mungkinkah kisruh ini terjadi akibat standar operasional prosedur pengelolaan investasi swasta belum ada ataukah peran kelitbangan pada perumusan kebijakan pemerintah daerah yang masih lemah.
Padahal jika berkaca pada pasal 36 huruf G dan H Permendagri Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang memerintahkan “Badan Litbang Daerah Kabupaten/Kota atau lembaga dengan sebutan lainnya yang menyelenggarakan fungsi kelitbangan di kabupaten/kota memiliki tugas: (g) memastikan tersusunnya kebijakan dan atau regulasi berbasis hasil kelitbangan di kabupaten/kota. (h) memberikan rekomendasi regulasi dan kebijakan kepada Bupati/Walikota dan perangkat daerah di kabupaten/kota . Maka idealnya masalah sengketa tanah tidak perlu terjadi dan harus tuntas di awal sebelum semua dokumen perizinan dikeluarkan.
Manuver-manuver belut pun tak lupa biasanya akan mengisi ruang kosong perseteruan di antara keduanya namun akhirnya sadar atau tidak masyarakat juga yang akan menjadi kuda tunggangan.
Saya menangkap aroma ada kepatutan yang dilanggar dari kejadian ini , entah apa itu. Mungkinkah kisruh ini terjadi akibat standar operasional prosedur pengelolaan investasi swasta belum ada ataukah peran kelitbangan pada perumusan kebijakan pemerintah daerah yang masih lemah.
Padahal jika berkaca pada pasal 36 huruf G dan H Permendagri Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang memerintahkan “Badan Litbang Daerah Kabupaten/Kota atau lembaga dengan sebutan lainnya yang menyelenggarakan fungsi kelitbangan di kabupaten/kota memiliki tugas: (g) memastikan tersusunnya kebijakan dan atau regulasi berbasis hasil kelitbangan di kabupaten/kota. (h) memberikan rekomendasi regulasi dan kebijakan kepada Bupati/Walikota dan perangkat daerah di kabupaten/kota . Maka idealnya masalah sengketa tanah tidak perlu terjadi dan harus tuntas di awal sebelum semua dokumen perizinan dikeluarkan.
Tapi karena permendagri tersebut relatif baru diterbitkan di tahun 2016 ini maka wajar kalau belum diterapkan metode pembuatan kebijakan berbasis kelitbangan.
Untuk memulai pesan permendagri itu akan saya awali dari kalimat pertanyaan apa sebenarnya hak guna usaha itu ? Menurut pasal 28 ayat 1 Peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah disebutkan sebagai hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan.
Jadi sudah jelas hak guna usaha bersifat sementara untuk mengelola tanah negara sehingga mengugurkan opini perusahaan yang mengatakan bahwa lahan yang mereka kelolah bukan tanah negara merupakan tafsir dungu sesuka-suka hati, "asal malontok" dari orang pandir. span style="font-size: medium;">
Muncul pertanyaan kritis berikutnya siapa sebenarnya yang memiliki wewenang menerbitkan izin hak guna usaha, apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow ataukah ada instansi lain diluar pemerintah daerah ?
Untuk menciutkan pertanyaan ini, disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan Hak Atas Tanah Negara, bahwa penerbitan izin Hak Guna Usaha untuk tanah dengan luas di atas 200 hektar menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pusat sedangkan untuk tanah yang luasnya dibawah 200 ha, menjadi kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
Sehingga konstruksi tuntutan masyarakat Desa Tiberias yang meminta Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow mencabut izin hak guna usaha PT Melia Sejahtera menurut bunyi peraturan menteri agraria tersebut jelas salah kamar.
Syak yang memercik di ubun-ubun saya, lintas koordinasi dari instansi vertikal badan pertanahan nasional dengan pemerintah daerah masih mandul sehingga selalu membuat pemerintah daerah patah arang. Tapi kita tidak akan mencari siapa yang benar dan salah, masalah ini cukup mudah diselesaikan dengan cara-cara beradab dan cerdas.
Posisi Masyarakat
>
Kita mulai menyelesaikan untuk duduk perkara masyarakat
Tiberias yang berkebun di lokasi yang sama dengan PT Melia Sejahtera. Apakah pantat
mereka pantas ditendang seenaknya pihak perusahaan untuk dikeluarkan
dari lokasi yang sudah dikuasai ? tunggu dulu bos, kendati
sudah memiliki izin hak guna usaha, dalam pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria jo
pasal 4 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan” Dalam hal
di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman
dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang
sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang
dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru”.
Jelas, ada kewajiban perusahaan pemegang hak
guna usaha kepada masyarakat untuk memberikan ganti rugi untuk tanaman dan bangunan sebelum
izin hak guna usaha itu dikeluarkan. Persepsi lain yang berkembang belakangan untuk
ganti rugi tanah mohon maaf tidak dapat dilakukan karena statusnya sebagai
tanah negara.
Pada situasi inilah pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow hadir untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah dengan menawarkan resolusi konflik yang dapat memuaskan kedua belah pihak bertikai dengan beberapa pilihan solusi:
Pada situasi inilah pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow hadir untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah dengan menawarkan resolusi konflik yang dapat memuaskan kedua belah pihak bertikai dengan beberapa pilihan solusi:
- Harus diberikan ganti rugi kepada masyarakat dengan nilai kesepakatan menggunakan pendekatan metode shadow price (harga bayangan) agar tidak terjadi debat kursi yang berlarut-larut.
- Pola inti plasma harus digunakan oleh perusahaan dalam tata kelolah lahan perkebunan yang dikuasainya yang dituangkan dalam nota kesepakatan kerjasama.
- Masyarakat diberikan ruang untuk berkebun sebesar 20 persen dari total luas areal perkebunan perusahaan dengan merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Bagaimana seandainya kalau alternatif yang ditawarkan itu menemui
jalan buntu ? dengan sangat berat hati saya mau katakan maka bupati berhak menggunakan kewenangan yang dimiliknya mencabut izin
lokasi yang telah diberikan.
ewenangan penerbitan izin lokasi oleh bupati sudah dijelaskan secara lugas dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 tahun 2015 tentang Izin Lokasi , sehingga logika terbaliknya bupati berhak juga mencabut izin lokasi yang diberikan.
ewenangan penerbitan izin lokasi oleh bupati sudah dijelaskan secara lugas dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 tahun 2015 tentang Izin Lokasi , sehingga logika terbaliknya bupati berhak juga mencabut izin lokasi yang diberikan.
Muncul lagi persoalan baru, apakah penjabat Bupati
Bolaang Mongondow dapat mengeksekusi perintah pasal 9 ini ? Secara tegas saya katakan
bisa jika mendapat persetujuan tertulis
dari menteri dalam negeri. Itu ada dalam
pasal 132a ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Akhirnya, saya cuma berharap masyarakat perlu
sedikit bersabar menunggu solusi terbaik yang diambil Pemerintah Daerah
Kabupaten Bolaang Mongondow seperti sudah saya beberkan sebelumnya. Tidak perlu
curiga ada main mata dalam perkara ini, solusinya sudah jelas dan terukur
melalui tim penyelesaian konflik yang nantinya akan dibentuk.
Dan bagi pihak perusahaan harus tunduk dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku dan apa yang diputuskan pemerintah daerah nantinya.
Penggunaan Undang-undang 51 tahun 1960 dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah ini untuk sementara saya pikir diabaikan dulu demi mencapai resolusi cerdas yang sama-sama dapat memuaskan semua pihak bertikai.
Baca juga
Dan bagi pihak perusahaan harus tunduk dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku dan apa yang diputuskan pemerintah daerah nantinya.
Penggunaan Undang-undang 51 tahun 1960 dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah ini untuk sementara saya pikir diabaikan dulu demi mencapai resolusi cerdas yang sama-sama dapat memuaskan semua pihak bertikai.
Baca juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,