Teringat saat diskusi 3 tahun silam (2011)
dengan teman-teman sekantor menyangkut pola penempatan pejabat di lingkungan
pemerintahan daerah yang kerap di pertontonkan dan di pratekkan secara lumrah
selama ini adalah suatu fenomena yang menarik untuk di bahas sampai
berbuih-buih, mengapa fenomena ini terus terjadi di setiap masa
pemerintahan.
Hal yang terpatron kuat dalam otak kesadaran
para ASN, kalau mau dapat jabatan eselon II, III ataupun IV musti rajin-rajin
stor-stor muka, rajin hadir di setiap kesempatan acara di mana seorang pimpinan
daerah hadir.
Jelas fenomena ini mengabaikan aspek kompetensi
dan jauh dari keniscayaan kualitas. Karir seorang ASN tergantung pada
yang namanya hak preogratif pimpinan daerah.
Berani macam-macam dengan
pimpinan daerah maka bersiaplah jadi seperti orang pesakitan menunggu
harap-harap cemas atas keputusan menyangkut nasib dirinya.
Terlepas dari urusan pesakitan, debat pun bertebaran dengan beragam sudut pandang, tinjauan, kilahan, ngeles sana-sini, agar tidak di bilang biongo dalam diskusi tersebut namun di sepakati bahwa dasar perlunya perubahan pola penempatan pejabat adalah mengikuti sistem penganggaran yang berlaku saat ini yakni Anggaran Berbasis Kinerja sehingga rumusan yang tepat untuk pola penempatan pejabat tersebut adalah Penempatan Pejabat Berbasis kerja.
Cukup logis argumentasi seperti itu, kalau
penganggaran berbasis kinerja maka sepatutnya pola penempatan pejabat pengguna
anggarannya berbasis kinerja juga.
Belakangan oleh Presiden Joko
Widodo sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta di populerkan dengan
istilah Lelang Jabatan.
Rumusan penempatan pejabat berbasis kinerja
yang di usulkan teman – teman dalam diskusi tersebut di rangkum dalam suatu
kajian pendek berisi persyaratannya, proses dan mekanisme dan kurang
lebih sama dengan yang telah di muat dalam Permenpan 13 Tahun 2014.
Hal yang
membedakan adalah standar kompetensi yang dipakai lebih kuantitatif
sedangkan dalam Permenpan 13 tahun 2014 cenderung kualitatif.
Satu tahun berlalu, dua tahun pun lewat
sudah dan sejalan waktu di tahun 2014 angin segar itu pun datang,
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah
membuka ruang kompetisi bagi segenap aparatur sipil negara di dalam karir
pemerintahan.
Benar saja, pada bulan Januari 2015 Pemerintah Kota Kotamobagu
mengambil langkah berani mengumumkan seleksi terbuka/lelang jabatan untuk 18
jabatan pimpinan tinggi pratama (JPT).
Tak berpikir panjang lagi untuk sekedar timbang
timbang layaknya orang lagi kepepet mau ikut dan tidak, peluang itu
pun di sikat, semua persyaratan administrasi semaksimal mungkin di penuhi dan
prosesnya pun di ikuti sesuai ketentuan yang berlaku.
Mulai dari urusan administrasi kepegawaian
kepangkatan, rekomendasi PPK, ijazah, makalah dsbnya. Niatan mengikuti
seleksi terbuka ini adalah untuk menguji system yang di berlakukan pemerintah
apakah sejalan dengan imaginasi saya dan teman-teman 3 tahun silam sebelumnya.
Terobosan yang di lakukan oleh Pemerintah Kota
Kotamobagu sungguh luar biasa tentu tak lepas dari peran Adnan Massinae, S.Sos,
MAP selaku Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kota
Kotamobagu.
Langkah inovatif layanan publik seperti
ini sudah seyogyanya menjadi trending topic baru untuk di ikuti semua
level pemerintahan guna membangun tata pemerintahan berbasis good dan
clean government.
Setidaknya model penempatan pejabat dengan
metode lelang jabatan seperti ini akan membebaskan beban moral seorang pimpinan
daerah atas segala permintaan yang di latar belakangi kepentingan para tim
sukses yang dulu menjadi pendukung setianya.
Namun sangat di sayangkan setelah mengikuti
serangkaian tahapan seleksi terbuka tersebut masih di jumpai beberapa kelemahan
sebagai berikut :
- Pendaftaran peserta seleksi hanya di ijinkan untuk mendaftar pada satu jabatan tinggi pratama, sehingga hal ini membuka kemungkinan kuota pendaftar tidak akan terpenuhi yakni minimal 3 peserta untuk satu jabatan pimpinan tinggi pratama. Kalaupun terpenuhi untuk beberapa kali perpanjangan pendaftaran maka kecenderungan terjadi adalah pengabaian syarat administrasi yang di berlakukan. Maksudnya bisa saja ada peserta yang tidak memenuhi suatu syarat administrasi tertentu tetapi sengaja di loloskan demi untuk memenuhi kuota jabatan.
- Proses pemilihan anggota panitia seleksi hanya memperhitungkan latar belakang dan rekam jejak anggota pansel tersebut. Aspek emosional seperti hubungan kekerabatan tidak di perhitungkan. Akibatnya apabila ada peserta seleksi terbuka yang mengikuti proses tersebut dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan anggota pansel maka bisa di pastikan akan lulus.
- Pengumuman peserta yang di lulus seleksi terbuka hanya di lakukan menurut abjad dan bukan rangking, sehingga akan tidak pernah di ketahui nilai kompetensi masing-masing peserta yang lulus.
- Standar nilai kompetensi yang di berlakukan baik untuk kompetensi manajerial ataupun bidang hanya bersifat kualitatif (hasil wawancara, persentasi dsb) sehingga setiap anggota pansel bebas menerjemahkan kompetensi tidaknya seseorang. Implikasinya seseorang yang mungkin memiliki kompetensi dari sudut pandang anggota pansel lain tapi belum tentu bagi anggota pansel lainnya.
Fakta-fakta unik yang di jumpai selama
mengikuti seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pratama pada Pemerintah
Daerah Kota Kotamobagu merupakan gambaran pelaksanaan lelang jabatan masih
setengah hati dan hal ini pasti terjadi juga pada pemerintah daerah yang lain
di Indonesia.
Artikel Lain
Lelang jabatan merupakan solusi yang
tepat atas karut marut politik dan karir ASN yang bercampur menjadi satu
layaknya tinutuan. Karir seorang ASN akan sangat di tentukan kontribusi dia
saat pimpinan daerah bertarung dalam ranah politik di masa sebelumnya.
Tidak mengherankan di masa sebelumnya
seorang ASN menjadi alat kepentingan politik, menjadi mesin meraup suara
untuk dan atas nama incumbent. Kalau begitu bagaimana masa sekarang setelah di
berlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN ?
Tidak perlu berpikir panjang sampai
membuat jidat berkerut-kerut yang menambah garis-garis ketuaan, untuk
menjawab pertanyaan tersebut saya katakan “Sama”.
Kalau dulu karir ASN di tentukan oleh
baperjakat dan sebagai penggantinya di masa sekarang adalah panitia
seleksi. Penentuan hasil akhir dari 2 pola penempatan pejabat tersebut
masih tetap dalam ranah hak preogratif pimpinan daerah.
Kesimpulan ini terpapar secara terang benderang
dalam kalimat bertuah yang dapat di jumpai dalam halaman penjelasan
Permenpan 13 Tahun 2014 pada diktum “hasil seleksi” point d bahwa Peringkat
nilai yang disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian bersifat rahasia.
Artinya walau semua tahapan seleksi
terbuka telah di lakukan mengikuti mekanisme dan prosedur normatif
namun ujug-ujugnya menentukan kompetensi tidaknya seseorang ASN
masih di bungkus ranah hak preogratif pimpinan daerah
(Pejabat Pembina Kepegawaian).
Kalau begitu cukup sederhana untuk menyimpulkan
lelang jawaban adalah sebuah solusi ½ hati, dan itu menjadi catatan kritis
perlunya Kementerian Aparatur Sipil Negara dan reformasi birokrasi untuk
menyempurnakan regulasi yang berlaku saat ini. Semoga
bermanfaat
Artikel lain Dosis Tepat Mutasi Jabatan