Mengutip pernyataan mantan presiden Amerika Serikat George W Bush yang bila di artikan bahwa anggaran adalah inti dari sebuah organisasi karena menentukan mati hidupnya sebuah organisasi. Pernyataan ini menyiratkan arti pentingnya aspek anggaran dalam membangun sebuah organisasi yang kuat, dan begitu halnya bagi pemerintah daerah sebagai sebuah organisasi yang besar menempatkan posisi keuangan daerah sebagai tulang punggung dalam membangun tatanan pemerintahan yang kuat.
LOBI ANGGARAN
Banyak cara pun di lakukan dalam oleh setiap pemegang otoritas keuangan daerah dalam menaikkan pagu dana alokasi umum yang salah satunya dengan melakukan proses lobi pada kementerian keuangan maupun melalui komisi anggaran DPR RI. Untuk yang terakhir ini merupakan isu sentral yang masih perlu dibuktikan lebih jauh oleh lembaga super power KPK.
Namun tidak terlepas dari pada proses lobi tersebut, di lingkungan internal pemerintah daerah sendiri proses lobi anggaran dari setiap SKPD pun berlangsung cukup marak pada tim anggaran eksekutif maupun komisi anggaran DPRD entah itu secara terang-terangan, kucing-kucingan, petak umpet dan sejenisnya.
Wajar dan cukup beralasan jika hal tersebut di lakukan mengingat operasional rutin SKPD seperti membayar listrik, gaji tenaga honorer, gaji supir, biaya air dsb akan menggunakan dana yang bersumber dari APBD.
Namun upaya lobi atau apapun istilahnya yang banyak dilakukan oleh SKPD pada kenyataannya tidak dalam rangka untuk sekedar menutup semua pengeluaran rutin SKPD sebagaimana di kemukakan tadi (tidak di lobi pun pasti akan dapat) namun lebih pada upaya menggolkan program/kegiatan yang di usulkan beserta besaran nilai rupiah yang dibutuhkan guna melaksanakan program/kegiatan di maksud.
Baca juga
Kiat Menyusun RPJMD Bermutu dan Pro Rakyat
Disinilah kerap kali seorang kepala SKPD harus kecewa terkadang menelan pil pahit jika anggaran program/kegiatan yang di usulkan akan di kurangi atau bahkan di hilangkan pada tingkat tim anggaran eksekutif.
Kalaupun suatu anggaran program/kegiatan akan di pertahankan dengan sejumlah dalih rasional atau berkat hasil lobi pada element-element kunci yang terkait penentuan anggaran maka biasanya besaran nilai rupiahnya yang di kurangi. Alasan klasik bahwa kemampuan keuangan daerah cukup terbatas adalah senjata yang cukup ampuh untuk menghilangkan sejumlah program/kegiatan yang di usulkan SKPD.
Sebenarnya tidak ada permasalahan dengan hal ini, namun cukup rancu, janggal dan aneh bagi saya dan kenyataan ini berlaku di hampir semua pemerintah daerah tidak terkecuali pemerintah daerah kabupaten Bolaang Mongondow. Letak kejanggalannya adalah nampak dalam penentuan besar kecilnya anggaran program/kegiatan yang misalnya ketika di usulkan setelah proses hitung-hitungan Rp. 100 juta maka bisa saja akan turun menjadi 50 juta atau kurang dari itu.
PROSES ANGGARAN BERBAHAYA
Alasan keterbatasan kemampuan keuangan daerah, skala prioritaslah adalah senjata ampuh untuk menjawab sekiranya ada SKPD yang mempertanyakan. Kesannya yang nampak adalah subyektifitas tanpa mampu di buktikan kenapa program/kegiatan harus di hilangkan atau mungkin kenapa anggarannya harus kurangi.
Alasan-alasan seperti ini dalam proses anggaran sangat berba haya. Sekiranya program/kegiatan yang diusulkan begitu sangat penting untuk kepentingan masyarakat dan kemudian di hilangkan tentu akan memberikan efek yang tak terduga di kemudian hari.
Kesan lain bahwa faktor kepentingan yang kuat baik secara kelembagaan atau pribadi hadir dan terlibat dalam penentuan besar kecilnya anggaran pada hal uang yang mau di gunakan adalah uang rakyat.
Apapun alasan yang di sampaikan secara lisan belumlah cukup untuk membenarkan tindakan penghilangan program/kegiatan atau pengurangan anggaran karena benar tidaknya alasan yang di sampaikan hanya pihak yang menyampaikan yang tahu kebenarannya.
Kalau begitu salah siapa sehinga praktek-praktek demikian itu terjadi, mungkinkah kesalahan penempatan aparatur perencanaan yang masih kurang memahami filosofi keuangan, mungkinkah kesalahan system keuangan daerah yang kurang memberikan daya dukung dalam proses perencanaan keuangan, mungkinkah ketidaktahuan dari pemegang otoritas keuangan daerah ? Tak tahulah.
Apa solusinya ?
Mengatasi bahaya dalam proses anggaran pemerintah daerah sebagaimana telah diuraikan panjang lebar sebelumnya maka seyogyanya tim anggaran eksekutif atau komisi anggaran DPRD harus memiliki standar acuan (bukan rencana strategis) berbentuk skala prioritas yang telah melalui proses penggondokan secara ilmiah sehingga akan menjauhkan dari tafsir subyektifitas atau adanya factor kepentingan.
Adapun untuk penentuan besar kecilnya anggaran belanja tidak langsung atau belanja langsung (program/kegiatan) harus ada acuan yang di buat berdasarkan pendekatan ilmiah seperti tabel input-output sehingga tidak menampakkan kesan adanya kongkalingkong.
Jadi pada intinya tidak bisa seenaknya mengurangi anggaran atau bahkan menghilangkan sama sekali atas dasar kewenangan yang dimiliki, uraian tugas yang di emban, atas perintah atasan, intruksi bupati/sekda, usulan anggota DPRD dsb. Setiap 1 sen uang rupiah yang dikeluarkan pemerintah daerah harus jelas manfaat yang timbul akibat pengeluaran tersebut terutama kepada masyarakat selaku pemilik uang. Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,