-->

Kamis, Mei 26, 2016

KOTA LAYAK ANAK, PENUH DUSTA

kota layak anak penuh dusta
Beberapa minggu terakhir isu kota layak anak cukup ramai diperbincangkan di ruang publik. Walau tidak sampai skala menggegerkan seperti kasus pemenggalan kepala di Kelurahan Mongkonai setahun silam, namun isu ini marak diperbincangkan mengikuti alur pemberitaan nasional yang banyak mengupas kasus pelecehan seksual terhadap anak. 

Seperti dituturkan media online yang satu ini totabuan.co, yang menurunkan tajuk pemberitaannya dengan nuansa datar “Pemkot  desak Kotambagu jadi kota layak anak”, namun sedikit berbeda dengan situs Bolmora.com yang mengemas isu anak  dengan mengambil pojok tendangan yang menyempit serta menyengat “Program kota layak anak patut dipertanyakan”.  

Situasi kekinian tak terbantahkan memang menunjukkan bahwa negeri kita dalam keadaan darurat kekerasan seksual terhadap anak. Satu persatu kasus kekerasan seksual itu pun mulai tersingkap, paling ringan cuma sebatas pelecehan seksual namun yang paling tak bisa dimaafkan adalah disertai kekerasan dan pembunuhan sebagaimana yang menimpa siswi kelas II asal Bengkulu  Yuyun. Sudah demikian pelaku kejahatan tersebut ternyata hampir sebagian besar didominasi anak-anak  di bawah umur.

Baca juga
Cara Membangun Kota Smart City

Publik pun  akhirnya digiring untuk memberi penilaian dan  mengakui, memang telah terjadi tindak pidana melawan hukum terhadap anak-anak  di negeri ini  Sedih, miris sempat saya rasakan hingga  membuat hati ini trenyuh, saya tidak berani  membayangkan, bagaimana kalau kejadian serupa  harus menimpa  anak  kita sendiri, dapatkah kita saat itu mengambil tempat sebagai seorang malaikat untuk mengucap sepenggal kata maaf, maaf dan sekali lagi maaf ?

Kita tinggalkan sejenak soal malaikat itu,  lantas bagaimana dengan posisi Pemerintah Kota Kotamobagu sendiri menanggapi isu ini ?  


Sejauh yang diketahui Pemerintah Kota Kotambagu saat ini telah mengusulkan Ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), Kotamobagu ditetapkan sebagai kota layak anak. Berani bermimpi besar sedemikian itu adalah bagus namun perkaranya  benarkah Kotamobagu tepat dijadikan sebagai kota layak anak, dan apa ukurannya  ? 

Baca juga
Kumpulan Inovasi Daerah Thomas alva edison

Jika menggunakan takaran pelecehan dan kekerasan seksual  anak dijadikan acuan pokoknya, maka saya dengan berat hati harus mengatakan belum tepat Kotamobagu dijadikan kota layak anak. Benar duga-duga saya itu,  Humas Pengadilan Negeri Kotamobagu   Raja Bonar Wasi Siregar, SH,  menyatakan bahwa dari 157 kasus yang masuk di pengadilan negeri umumnya didominasi kasus pelecehan seksual/cabul terhadap anak-anak.

Jadi,  tak bisa dinafikan ada kesan  terburu-buru dari walikota  mengusulkan Kotamobagu sebagai kota layak anak dengan mengabaikan fakta-fakta otentik yang ditemukan dilapangan. Seolah yang dikejar cuma pencitraan positif yang membabi-buta   bahwa pemerintah daerah tidak mengabaikan putra-putri daerah, sangat keterlaluan. 


Akhirnya malah mematik  reaksi publik dengan sentilan lucu-lucu di berbagai media sosial, sesudah kota model jasa, kota peduli perempuan  serta  kota layak anak,  habis itu kota apa lagi ? .

Terindikasi kuat dan hampir dipastikan ada cacat cela Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kotamobagu untuk menelikung walikota dengan menyampaikan usulan yang sulit dicerna akal sehat soal penetapan Kotamobagu sebagai kota layak anak. 


Ini usulan yang sangat prematur  dan tidak berdasar sama sekali serta   lebih kentara mempertahankan polusi kekuasaan. Kalau dikatakan usulan itu bermotif  cari muka ke walikota pas benar, dan  inilah    barisan pengusung “asal ibu senang” yang cocok dengan sebuah ungkapan   pembunuh dalam lipatan.

Pembaca, walau belakangan saat dikonfirmasi awak media totabuan.co selasa 24/05, Kepala BPP dan KB Kotamobagu buru-buru meralatnya karena sadar telah khilaf, dengan  mengatakan Kotamobagu baru akan menuju kota layak anak musababnya  baru sebagian dari 33 syarat kota layak anak yang bisa dipenuhi Kotamobagu. Seolah takut ada kebanggaan yang tergores dan menjadi aib yang dapat berujung  dicopot dari  jabatannya sebagai Kepala BPP dan KB Kotamobagu maka melakukan kontra persepsi kota layak anak sebisanya.

Gemas, lucu dan membuat perut saya mulas menahan geli melihat perangai karatan pejabat seperti ini, di satu sisi walikota menyatakan mengusulkan Kotamobagu sebagai kota layak anak namun di ujung lain Kepala BPP dan KB menepisnya dengan pernyataan Kotamobagu baru akan menuju kota layak anak.  Kalau baru akan menuju kota layak anak kenapa diusulkan ke Kemenpppa ?.  


Dada boleh saja membusung untuk sebuah terobosan yang anda lakukan,   namun syaratnya  harus masuk akal, tidak inkosisten, bisa dibuktikan dan paling penting bukan cuap-cuap sekelas penjual obat kampungan di pasar 23 Maret.   

Mundur ke belakang, bahwa kebijakan pemerintah pusat menyangkut perlindungan  terhadap hak anak-anak  telah dijamin melalui   Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996.  Hak dimaksud meliputi  hak kelangsungan hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang, dan hak berpartisipasi. 


Sejalan itu juga pada tanggal 22 Oktober 2002 telah ditetapkan juga  Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Point penting di sini, apa sih di negeri ini yang tidak diatur oleh pemerintah ? tapi mengapa selalu saja timbul masalah  kejahatan serius yang menyasar bayi, balita, anak-anak, remaja, bahkan ke tingkat manusia dewasa.   

Tampaknya setumpuk dokumen produk perundang-undangan tentang hak anak tidak cukup untuk memberi jaminan terlindungnya anak secara memadai.  Sejatinya pemerintah daerah perlu lebih serius dan sungguh-sungguh menjalankan semangat yang di maksud oleh undang-undang yang telah dibuat.  


Jangan isu ini cuma dijadikan komoditi politik semata untuk mengundang decak kagum, seolah-olah pemerintah  daerah berpihak pada anak-anak namun target utama sebenarnya   mendapat penghargaan kota layak anak dari pemerintah pusat. Kita dapat belajar dulu  ke Pemerintah Kot Solo yang menetapkan tahun 2016 ini sebagai kota layak anak namun ternyata  persiapan mencapai target itu sudah dimulai sejak tahun 2006.

Bagaimana dengan dengan Pemkot Kotamobagu sendiri, sudahkah mempersiapkan kebijakan program yang menopang terciptanya kota layak anak ?  


Kita persempit saja ke  sektor kesehatan, sudahkah puskesmas dan rumah sakit yang ada sekarang dijadikan tempat ramah anak dengan menyediakan ruang tempat menyusui maupun ruang tunggu yang memadai bagi anak lengkap dengan alat bermainnya ? kenyataannya, pasien dan  pengunjung yang membawa anak di puskesmas dan rumah sakit selalu berbaur di ruang yang sama sehingga anak itu akan mudah terserang penyakit. 

Tak berbeda jauh dengan pendidikan, sudahkan jam belajar anak-anak diberikan pada jam-jam tertentu saat  berada di keluarganya ? Kenyataanya, kebijakan melarang penggunaan audio bentor, utamanya yang di lorong-lorong belum ada, padahal ini sangat mengganggu aktivitas belajar anak-anak di rumah. 

Bagaimana pula dengan zona selamat sekolah ketika anak keluar dari jam belajar di sekolahnya ?  Adakah  itu di berikan di depan semua sekolah yang ada di pelosok Kotamobagu ? 

Penutup, saya cuma ingin mengatakan dika bi ki dunga-dunga mai ki walikota moguman kon kotamobagu layak anak, kasi;ah mongoadi tonga  pinomia barang dagangan intau no takit (baca : jangan cuma iya-iya walikota bilang kotamobagu layak anak, kasihan anak-anak cuma dibuat barang dagangan orang yang sakit)

Bagikan artikel ini