10/12/2016

DANA DESA ALAT MERAUP SUARA DAN MENINGKATKAN ELEKTABILITAS POLITIK

dana desa



Hiruk pikuk pemilihan umum kepada daerah serentak mulai terasa di berbagai daerah. Tahapan pendaftaran para peserta calon kepala daerah pun mulai digelar.  Sejak diawali tanggal 26 Juli 2015 silam, pemilukada serentak selalu saja menjadi konsumsi bahasan setiap tahunnya. 

Berbagai analisa berbobot atau tidak pun mulai dilayangkan dan menyeruak di tengah-tengah ruang publik. Apalagi yang diperbincangkan, kalau bukan siapa tokoh politik yang kuat dan memiliki elektabilitas yang tinggi.   
 
Umumnya di daerah yang sang petahananya masih mencalonkan diri dan belum berakhir masa jabatannya, dianggap dan dicap masih cukup tangguh dan sulit dikalahkan oleh kontestan lainnya.

Mengapa bisa begitu ?

Petahana selain faktor sudah pernah berbuat di mata rakyat pemilih juga masih memiliki kewenangan untuk memanfaatkan jabatannya guna mendongkrak elektabilitasnya.

Tak bisa dipungkiri semua orang tahu dan pasti, elektabilitas yang tinggi belum menjamin 100 persen akan sejalan pula dengan jumlah suara yang mampu diraih.
Untuk mempermulus dan memberi kepastian perolehan suaranya tidak akan tergerus maka pilihan skenario politik menggunakan pola serangan fajar atau money politik selalu menjadi pilihan utama.
  Artikel Lain 

Politik Uang Cara Ampuh Meraih Suara Terbanyak >

Praktek money politik tidak berarti menggunakan uang pribadi dalam pertarungan politik. Sekalipun uang yang digunakan itu berasal dari pemerintah, namun bermodal kewenangannya maka uang itu menjadi sarana money politic. 

Dana desa adalah satu contohnya uang dari pemerintah yang berpotensi menjadi sarana money politik

Sejalan tahapan Pemilukada serentak digelar, program Nawa Cita Presiden Jokowi-JK “membangun Indonesia dari desa-desa dan daerah-daerah tertinggal dalam kerangka NKRI," mulai dilaksanakan. 

Terhitung tanggal 20 April 2015 melalui Kementerian Keuangan RI telah dicairkan dana desa tahap pertama sebesar 5,7 persen dari total dana 8,28 triliun kepada 434 kabupaten/kota. 

Dana desa diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 (PP No 22/2015) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. 

Dalam pasal 16 PP No 22/2015 dinyatakan penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap, tahap I bulan April (40%), tahap II pada Agustus (40%) dan tahap III pada Oktober (sebelumnya November) 20%," 

Namun masih tersisanya 14 kabupaten belum menerima dana desa sampai awal Agustus 2015 maka besar kemungkinannya terjadi Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) dana desa di tingkat kementerian Keuangan RI. 

Pengelolaan Dana Desa

Sisa lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) adalah sisa anggaran yang tidak terserap pada satu mata anggaran dalam periode waktu tertentu. Sebab musababnya tidak terpakai habis dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah akibat kelambatan pencairan anggaran tersebut. 

Dana desa yang terlambat dikucurkan secara metode berantai akan mengakibatkan tersendatnya proses belanja pada sejumlah kegiatan dan itu berarti. dana desa mengalami SiLPA. 

Dalam hal dana desa yang mengalami SiLPA, dalam pasal 27 ayat 3 PP No 22/2015 disebutkan bupati/walikota memberikan sanksi administratif kepada Desa yang bersangkutan. 

Sanksi di maksud, dijelaskan pada ayat 4 berupa pemotongan Dana Desa tahun anggaran berikutnya sebesar SiLPA Dana Desa tahun berjalan. 

Terlepas dari pemotongan itu, belajar dari pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) selama ini semisal di Kabupaten Majalengka pencairan ADD 2014 tidak jelas kapan dicairkan, begitu juga pencairan ADD Kab. Kepahiang nanti di pertengahan Desember 2014, dan masih banyak kabupaten lainnya, maka dipastikan pengelolaan dana desa ini akan bernasib yang sama. 

Keterlambatan proses pencairan dana desa dari rekening kas umum daerah akan menjadi biang kerok terjadinya SiLPA dana desa. 

Sekiranya keterlambatan pencairan dana desa karena faktor yang tidak disengaja maka publik mahfum. Tapi lain soal kalau keterlambatan itu disengaja dengan puluhan dalih yang tampaknya rasional maka patut diduga ada tujuan yang ingin diperjuangkan. 

Kendati Pasal 16 ayat 3 PP No 22/2015 memerintahkan “Penyaluran Dana Desa setiap tahap dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di kas Daerah”, namun keterlambatan pencairan dana desa terjadi dengan dalih administrasi pencairan dana desa yang diajukan tidak lengkap. 

Artikel lain

Cara cepat Mengurangi SiLPA APBD yang besar

Dalam ranah itu, para kepala desa yang mengalami SiLPA (by design), berada pada titik sunting menjadi aktor utama mengemban misi politik petahana. 

Menolak, berarti harus siap dana desanya dikurangi dan kalau memilih ikut sejumlah berkah menanti didepan mata. 

Dana Desa Alat Meraup Suara

Mengingat imbas yang ditimbulkan dari pasal 27 ayat 3 dan 4 PP No 22/2015 maka sepatutnya pasal ini dihilangkan atau direvisi kembali, sangat kritis serta tidak tepat diberlakukan. 

Ancaman memotong anggaran dalam pasal 27 adalah varian teroris baru yang kerap dijadikan ritual dalam penyusunan produk hukum berkaitan keuangan. 

Mungkinkah langkah penyelamatan uang negara harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak elok, berbau diskriminasi dan kental dengan intimidasi ?. 

Pun di berbagai literatur produk hukum Indonesia sering ditemukan klausul yang menempatkan jabatan Bupati/Walikota bak teroris. 

Takarannya sederhana, stempel teroris selalu dialamatkan pada orang yang memiliki kebiasaan mengancam kendati itu sekedar bual-bual. 

Skenario politik petahana untuk meraup suara terbanyak lewat adegan mengamputasi hak desa untuk dan atas nama peraturan, diperkirakan menjadi senjata yang cukup ampuh.
Sudah saatnya semua produk-perundang-undangan Indonesia hadir dan dikemas dalam balutan bahasa-bahasa humanis berbasis pendekatan persuasif. 

Untuk ketentuan pasal 27 ayat 4 PP No 22/2015 bahasa yang tepat berbunyi jika terjadi SiLPA dana desa maka para kepala desa diwajibkan menyetor kelebihan dana desa yang tidak terpakai pada rekening kas daerah.

Baca juga
Trik meningkatkan Elektabilitas Tokoh Politik hingga 73 persen