10/22/2017

KOCOK ULANG PEMOTONGAN TPP ASN



"tpp ASN"
Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat ditabukan  bahwa hampir tiap saat di sela-sela apel pagi bersama Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow selalu saja di bacakan pemberian sanksi disiplin ke sejumlah Aparatur Sipil Negara, yang memiriskan sanksi dijatuhkan itu terkadang harus berakhir dengan drama sanksi pemecatan. 

Memang  jujur diakui, jika menengok  5 tahun ke belakang Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow boleh dikata darurat dan krisis displin ASN dan bahkan masuk ke zona merah.

Sejumput fakta sejarah di masa lalu tak bisa ditampik bahwa  sebagian besar ASN masuk dan pulang kantor semau-maunya hingga akhirnya sukses menuai  suara sumbang masyarakat awam.

Kini di masa pemerintahan Bupati yang baru, suara sumbang itu coba ditepis dengan langkah penegakan disiplin yang dipimpin sekretaris daerah Tahlis Galang.

Sebagai seorang jebolan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, tentu menu disiplin ini adalah makanan sehari-hari saat dulu beliau masih  di bangku kuliah. Seolah gayung bersambut,  dan ketika beliau  didaulat menjadi panglima ASN  di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow, maka sangat wajar bila penegakan disiplin ASN masuk dalam daftar target kerja.

Perspektif Disiplin PNS 

Saya teringat pada 12 tahun silam tepatnya di tahun 2005, saat di gembar-gemborkan pertama kali Gerakan Disiplin Nasional (GDN) selama 1 bulan penuh di kalangan ASN.

Hari-hari dipenuhi aktivitas tidak biasa Badan kepegawaian Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow yang sibuk melakukan operasi tangkap tangan  di setiap Satuan Perangkat Daerah. Tetapi, belakangan   disiplin yang berlaku saat itu tenyata  hangat-hangat tahi ayam.

Mungkinkah disiplin di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini akan berakhir seperti itu juga ? Gelagat  ke arah itu, saya berani pastikan tidak ada, terbukti dengan gelombang pemberian sanksi kepada ASN yang seolah tidak pernah putus.

Kesimpulan sementara yang didapat  panglima ASN sudah khatam urusan disiplin dengan konsisten memberikan sanksi. Walau  kecenderungan yang tampak saat ini masih di lingkaran pemberian sanksi saja.

Terkait itu, fenomena yang ada ternyata disiplin dikalangan ASN  ditafsirkan cuma sebatas kehadiran, datang dan pulang kantor tepat waktu. Pokok perkara semisal disiplin melaksanakan anggaran, disiplin melaksanakan tugas pokok dan fungsi, disiplin melaksanakan wewenang terkait jabatan menguap begitu saja.

Padahal kalau merunut pada   Kamus Besar Bahasa Indonesia disiplin berarti ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan. Hal serupa ditemukan juga dalam isi pesan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS khususnya dalam pasal 1,  disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

Ambil contoh saja biar otak kita encer, satuan kerja perangkat daerah yang mendapat TGR dari BPK ditenggarai  pimpinan SKPD itu menganggap  disiplin  hanya berlaku untuk  kehadiran dan  tidak berlaku di wilayah  eksekusi anggaran.

Paling santer, soal isu pemberian ijin yang dipatok 30 juta seperti yang dirilis media online totabuan.co “bupati Bolmong jengkel tairf ijin Indomaret di patok 30 Juta”. Ini juga fakta yang kasat mata, disiplin di anggap untuk urusan masuk dan pulang kantor saja, tidak masuk ke ranah  wewenang terkait jabatannya.  

Atas beberapa kondisi tersebut, adalah pas benar dan saya aminkan jika kemudian diterapkan juga bahwa oknum pelanggar disiplin semisal yang mendapat TGR atau terindikasi kuat ceroboh melaksanakan wewenangnya di kenakan   sanksi disiplin sebagaimana yang berlaku bagi ASN yang melanggar disiplin kehadiran.

Buah dari Disiplin

Pertanyaan kritisnya, mengapa disiplin ASN di setiap pemerintahan selalu saja jadi incaran kepala daerah untuk dimaksimalkan ?

Walau sangat susah disiplin ASN ditegakan, ternyata muara disiplin  cuma satu apalagi kalau bukan meningkatkan kinerja pemerintahan. Kita boleh saja berasumsi, semakin tinggi kehadiran ASN di kantor maka kinerja pemerintahan  juga akan meningkat.

Tapi bagaimana boleh bekerja maksimal kalau anggarannya diselewengkan, Pun terkadang ASN bekerja seperti kutu loncat, bekerja bukan di wilayah wewenangnya  sendiri.   

Lepas dari soal anggaran dan wewenang tadi, menarik untuk dikaji   konstruksi kebijakan  memotong Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN. 
Langkah  ini  sebetulnya cukup baik mendongkrak kedisiplinan, walau   serta merta juga sedikit menggelitik urat tawa saya karena di balik kebijakan itu muncul wabah sekedar menggugurkan kewajiban untuk hadir di kantor.    

Soal kinerja ASN, tunggu dulu, kebijakan ini bukan solusi yang tepat Faktanya, ada yang rajin masuk kantor dan pulangnya bahkan sampai malam tapi ketika ditanya soal apa yang dia kerjakan cuma menjawab dengan tergagap.

Jika berangkat dari cara pandang Michael Sandel, di dalam bukunya yang terbaru, What Money Can’t Buy (2013), disana dijelaskan, bahwa uang juga mempengaruhi kinerja orang di dalam pekerjaannya, maka kontruksi kebijakan pemotongan TPP ASN ada baiknya di kocok ulang.

Kebijakan pemotongan TPP  ASN tidak disiplin ini adalah produk kebijakan copy paste yang dipakai sebagian besar  pemerintah daerah. Alasan mendasar  di ambil kebijakan ini  berpijak pada asumsi semakin tinggi kehadiran ASN  maka berbanding lurus dengan naiknya kinerja pemerintahan.

Benarkah seperti itu ?

Masalah lainnya juga, tidak banyak yang tahu  pemberian TPP  diberlakukan tidak merata, pada instansi tertentu TPPnya cenderung tinggi dibanding TPP pada instansi  kelas teri.

Walau terdengar sangat klasik, konon katanya tersebab diberikan TPP tinggi karena beban kerja yang ada   sangat melimpah ruah. Tapi menjadi aneh dan rancu kenapa saat melakukan pemotongan TPP justru mengambil patokan dari kehadiran dan  bukannya dari dari beban kerja yang dipikul sebagaimana ketika bersilat lidah alasan diberikan TPP begitu tinggi.

Agar konsistensi maka seyogyanya kiblat pemberian TPP kepada ASN  sejatinya beralas pada banyak sedikitnya pekerjaan yang mampu dihasilkan dalam sebulan. Biar tidak pening kita sepakati saja sebut saja kebijakan ini lelang pekerjaan.

Apalagi sekarang semenjak berlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang mengusung seleksi terbuka atau lelang jabatan maka seharusnya konsep pemberian TPP kepada ASN menyesuaikan kearah itu dengan metode lelang pekerjaan.

Hasil kocok ulang ini  membutuhkan  rincian yang tegas dan jelas  masing-masing  pekerjaan beserta nilai nominalnya. Contoh paling jelas, misal mengantar surat mungkin nilainya Rp. 25.000, hadir dalam rapat paripurna DPRD Rp. 50.000, membuat peraturan/keputusan bupati dan sejenisnya di hargai Rp.100.000 dst.

Dengan begitu terbuka ruang berkompetisi yang sehat di pemerintahan, tanpa capek-capek mengumbar syahwat mengancam seperti yang sering di praktekkan selama ini karena  selain tidak humanis juga sangat tidak elok.

Jelasnya,  imbas dari adanya perubahan ini maka kinerja pemerintahan di pastikan bisa meroket karena di topang kebijakan yang mampu merangsang ASN untuk mau berburu pekerjaan tanpa harus diperintah.  

Semua itu adalah tantangan berat    yang masih memerlukan diskusi panjang bahkan mungkin perdebatan.  Untuk mengawali langkah perubahan drastis ini ada baiknya  kita renungkan pepatah   Affectio tua nomen imponit operi tuo yang kurang lebih artinya motivasi seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya.  

Baca juga
"Menegakkan Disiplin PNS Nakal "

2 komentar:

BERIKAN KOMENTAR YANG SOPAN DAN SESUAI ISI ARTIKEL YANG ADA,