Selasa
malam 25 Juli 2017 pukul 20.30 Wita saat rehat sejenak di lantai tiga
seusai menaiki anak tangga gedung Sekretariat Daerah Pemerintah
Kabupaten Bolaang Mongondow yang setara tingginya pohon kelapa tersebab
malam itu mendapat giliran membahas Rencana Kerja Anggaran APBD-P di
ruang kerja Sekretaris Daerah kabupaten Bolaang Mongondow, tiba-tiba di
sela-sela helaan napas yang tersengal-sengal saya menerima cuitan
informasi dari beberapa kawan jurnalis bahwa Bupati Bolaang Mongondow
sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Utara tadi sore
pukul 15.30.
Belum
hilang rasa kaget saya, kira-kira pukul 21.00 Wita saat ibu bupati
keluar ruangan kerja hendak pulang dan dicegat para kuli tinta guna
diminta tanggapannya soal penetapan tersangka ini oleh Polda Sulut,
sungguh diluar dugaan jawaban yang disampaikan beliau saat itu
“alhamdulilah”.
Hal-ihwal
mengapa Bupati Bolaang Mongondow harus menyandang status tersangka,
jauh sebelumnya sudah mafhum di ketahui publik bahwa ini bermula dari
upaya paksa Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow pada PT Conch untuk
tunduk dan patuh pada ketentuan yang berlaku. Setelah sukses sebelumnya
Polda Sulut dengan aksi mengtersangkakan 27 SatPol PP Pemerintah
Kabupaten Bolaang Mongondow, kini giliran pucuk pimpinan daerah totabuan
yang kena getahnya.
Baca juga
Upaya Bupati
Mundur
ke belakang, cerita tentang sepak terjang PT Conch sejauh yang saya
ketahui cukup mengundang tanda tanya besar dan diskusi panjang. Suatu
ketika, saat bertemu dengan salah satu karyawan PT. Sulenco, sempat
saya bertanya tentang maksud dan tujuan yang bersangkutan datang ke
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Alih-alih ternyata yang bersangkutan ingin mengurus dokumen rekomendasi
tata ruang.
Berbekal
pengalaman pernah menjabat sebagai kepala kantor Sintap di awal
pendiriannya tahun 2005 maka urusan perizinan bukan hal yang baru bagi
saya sehingga kemudian saya sedikit berdebat kalau perusahaan bapak
belum mengantongi rekomendasi tata ruang kenapa sudah berani membangun,
bukannya nanti perusahaan bapak yang akan rugi jika rekomendasi
dimaksud seandainya tidak akan terbit.
Pertanyaan
saya hanya di sambut dengan sejuta senyum penuh arti, dan karena tidak
dijawab saya akhirnya hanya menunjukkan keberadaan ruang yang ingin
dia tuju.
23
Mei 2017 saat pertemuan di Hotel Sutan Raja kotamobagu saya mendengar
untuk kedua kalinya ihwal PT Conch. Bupati Bolaang Mongondow saat itu
memerintahkan beberapa instansi teknis untuk segera menyampaikan dokumen
perizinan PT Conch yang sudah diterbitkan.
Pun
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Bolaang Mongondow yang diperintah oleh Bupati bahwa besok pagi harus
segera membawa dokumen perizinan PT Conch ke meja kerja beliau.
Pada
posisi ini, saya haqul yakin Bupati Bolaang Mongondow sebetulnya
sangat mengetahui persis tetek bengek legalitas standing PT Conch
terkait aktivitas usaha pertambangannya. Jenis perizinan apa saja
yang sudah dikantongi sejauh ini oleh PT Conch Cs.
Berpegang teguh pada informasi yang sudah disampaikan ini, maka sesuai
prosedur diambil langkah-langkah persuasif oleh Bupati Bolaang
Mongondow pada PT Conch.
Baca juga
Bila ingatan saya tidak selip, setidaknya sudah tujuh kali PT Conch di undang rapat oleh Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow guna membahas masalah dokumen perizinannya yang masih compang camping, alhasil selalu menemui jalan buntu karena yang datang ke rapat tersebut cuma perwakilan perusahaan.
Sikap
dan ulah kurangngajar PT. Conch yang kurang kooperatif dalam menjawab
undangan rapat Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow tentu tidak bisa
di biarkan begitu saja. Selaku pimpinan tertinggi di daerah yang memikul
amanah rakyat, Bupati Bolaang Mongondow harus bersikap tegas dan keras
terhadap investor nakal.
Pilihan
satu-satunya adalah cuma dengan langkah penertiban bangunan liar di
areal lokasi pertambangan PT Conch.
Pak Kapolda Sulut yang terhormat, tidakkah bangunan yang tidak memiliki
ijin mendirikan bangunan disebut bangunan liar yang sudah sepantasnya,
seharusnya dibongkar ? atau mungkin ada persepsi lain pak kapolda
tentang hal ini.
Merunut
dari riwayat ini, yang patut dipertanyakan dimana letak kesalahan
Bupati Bolaang Mongondow sehingga Polda Sulut menetapkan sebagai
tersangka ? okelah kalau penyidik Polda Sulut mencomot Pasal 170 ayat
(1) dan ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau
pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP, dijadikan alibi
penetapan tersangka, bahwa bukti-bukti permulaan yang ada sudah lebih
terang dari cahaya maka saya tidak dapat membantahnya.
Kedangkalan
persepsi klausul pasal-pasal itu tidak melihat obyek yang disangkakan
secara rinci, apakah bangunan yang dirusak itu memiliki ijin mendirikan
bangunan atau tidak.
Jika begitu maka sejatinya mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok harus
juga dijerat dengan pasal ini saat membongkar bangunan dilokasi
kalijodoh, kali krukut, waduk pluit atau di Pulogadung.
Lantas
kenapa isi pesan pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-undang 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung harus diabaikan bahwa bangunan gedung dapat di
bongkar apabila salah satunya tidak memiliki izin mendirikan bangunan
maka tidak seharusnya Bupati Bolaang Mongondow yang baru bekerja kurang
lebih dua bulan sejak dilantik, diperlakukan dan ditetapkan sebagai
tersangka.
Mungkinkah
ada niat lain menelikung bupati dibalik penetapan tersangka ini ?
ataukah ini murni asupan pengetahuan dalam batok kepala oknum aparat
penyidik Polda Sulut memang masih setinggi pohon tomat.
pembaca,
saya tidak bermaksud membela Bupati tapi apa yang dilakukan oleh Bupati
Bolaang Mongondow sudah tepat dan sangat terang benderang dijelaskan
dalam pasal 45 ayat 1 huruf i Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 ini.
Ringkasnya
setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenai
sanksi administratif berupa pembongkaran bangunan gedung.
Jadi
saya mau bilang disini, apa yang dilakukan oleh Bupati Bolaang
Mongondow tidak menerabas aturan dan justru sebaliknya berusaha
menjalankan peraturan dengan selurus-lurusnya sejalan sumpah janji
pasal 61 ayat 2 Undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
bahwa "Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi
kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat,
nusa, dan bangsa".
Akan
halnya bagi PT Conch, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow sebetulnya
dapat bersikap yang sama membawa masalah ini ke ranah hukum. Berkiblat
pada pasal 46 ayat 1 dan 2 bahwa pemilik yang tidak mematuhi ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung di
ancam pidana 4 tahun penjara dan denda 15 persen dari nilai bangunan
maka PT Conch sangat berpeluang dijadikan tersangka.
Langkah Hukum Pemerintah
Merebaknya
penetapan tersangka Bupati Bolaang Mongondow hingga menjadi viral di
tingkat nasional, tak ditabukan adalah bukti kuat kekacauan konstitusi
di negara kita. Benturan antar produk hukum yang terjadi, akhirnya
terbukti secara sah dan meyakinkan telah mengamputasi kewenangan kepala
daerah dan ujug-ujugnya bermuara pada penetapan tersangka. <
Menjadi
pertanyaan kritis bagi kita semua, mungkinkah penetapan tersangka
Bupati Bolaang Mongondow bisa di anulir ?. Jawabnya bisa saja. Salah
satunya dengan langkah hukum praperadilan, tapi hal itu tidak akan saya
bahas detail disini.
Lepas
dari praperadilan itu, bahwa penetapan tersangka Bupati Bolaang
Mongondow oleh Polda Sulut berangkat setelah dilakukannya gelar perkara
pada pagi harinya.
Cara kerja seperti ini sangat jelas di muat dalam Peraturan Kapolri
Nomor 12 Tahun 2014 tentang Manajemen Penyidikan.
Diterangkan
juga disana bahwa terdapat 2 cara untuk melakukan gelar perkara yakni
gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus.
Berbekal pengalaman saya di tahun 2014 menangani perkara serupa seorang
karib sereriungan di Polda Sudut maka gelar perkara khusus dapat
menjadi pintu masuk untuk menentukan keabsahan penetapan tersangka
Bupati Bolaang Mongondow oleh Polda Sulut yang dilakukan lewat gelar
perkara biasa.
Pasal
71 ayat 2 huruf b Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2014 pun
menjelaskan bahwa gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu yang salah satunya
menjadi perhatian publik secara luas.
Apakah
penetapan tersangka Bupati Bolaang Mongondow memenuhi kriteria pada
pasal ini ? oh sudah pasti, pertanyaan selanjutnya kemana kita
mengajukan permintaan gelar perkara khusus itu ?
Cuma
satu tempatnya, yakni ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) di
bilangan jalan Tirtayasa VII No. 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Mengapa harus ke Kompolnas kita mengadu? Karena itulah tugas utama
Kompolnas bahwa selain memberikan saran pada presiden, juga menerima
saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian.
Akhir
kata, saya pikir wajib hukumnya gelar perkara khusus di lakukan Polda
Sulut, tentunya dengan dihadiri komisioner Kompolnas biar obyektivitas
ditegakan dan spekulasi sesat publik benar-benar hilang tak berbekas.
Inilah batu ujian sesungguhnya bagi pak Kapolda Sulut, apakah institusi
di bawah besutannya masih memiliki integritas dan kredibilitas yang
mumpuni, mengingat masih banyaknya suara-suara sumbang yang masih
mencibir kinerja kepolisian.
Kembali
ke pokok judul tulisan ini, benar adanya kalau Bupati Bolaang Mongondow
sempat berujar “alhamdulilah” soal statusnya yang tersangka. Ungkapan
rasa syukur itu tentu sarat multitafsir yang tidak bisa diterjemahkan
membabi buta. Bahwa makna sesungguhnya paling mendekati, mari saya di
uji bahwa apa yang saya lakukan sudah benar atau tidak.
Baca juga