-->

Minggu, Oktober 02, 2016

POLITIK UANG JALAN AMPUH MERAUP SUARA TERBANYAK

politik uang Istilah politik uang, money politic atau serangan fajar selalu menarik perhatian untuk dibahas   

Patut diakui, politik uang atau serangan fajar ini sudah dijadikan  budaya dan perilaku yang dianggap wajar dan tidak asing lagi masyarakat kita.  

Kalau dulu istilah serangan fajar digunakan pada peristiwa perang kemerdekaan, namun kini istilah ini sudah mengambil posisi dalam blantika politik tanah air.

Tak ada yang tahu persis sejak kapan istilah ini digunakan dalam ranah politik, yang jelas  tak bisa ditampik politik uang itu ada. 

Apa politik uang itu?

Pengertian Politik uang

Dalam beberapa referensi semisal yang dirilis dalam wikipedia, politik uang diberi pengertian adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.

Jadi cukup jelas, politik uang tidak semata-mata berbentuk uang, memberikan barang untuk maksud tertentu saat pemilihan umum adalah bagian dari politik uang.

Fenomena Politik Uang  

Ada hal yang menarik ketika menjelang detik-detik pemilukada di setiap daerah, utamanya sehari menjelang pencoblosan. 

Biasanya saat sudah malam hingga menjelang subuh, disepanjang jalan kita akan melihat fenomena unik kelompok masyarakat yang duduk secara bergerombol.

Mereka rela melewatkan sisa malam untuk tidak tidur dan melupakan sejenak istirahat malamnya. Pun untuk mengusir rasa kantuk yang menyerang, berbagai kegiatan digelar, seperti bermain kartu, gitar atau bahkan sekedar membasahi bibir dengan bual-bual tak ada juntrungnya.
  
Kenapa mereka tidak tidur ?

Ternyata di balik itu semua, ada sebongkah harapan bahwa malam itu mereka menjadi salah satu target untuk diberikan uang dari tim sukses salah satu kandidat kepala daerah.

Meraup Suara dengan Politik Uang

Terlepas apakah politik uang itu haram dan halal menurut kacamata konstitusi, faktanya praktek banal seperti ini masih sangat populer dan diidam-idamkan masyakat kita.

Pun dibagian lain calon kepala daerah, beranggapan juga peluang terbaik untuk meraup suara terbanyak dalam pemilihan umum harus dengan politik uang.

Benarkah masyarakat senang dengan politik uang ?

Terungkap dari hasil penelitian  Founding Father House sebagaimana dikemukakan Dian Permana bahwa  berdasar hasil riset yang dilaksanakan di dua daerah di Provinsi Jawa Timur, yakni Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Mojokerto, masyarakat menganggap politik uang itu adalah pintu rezeki mereka.

Dapat dilihat, di Kabupaten Lamongan, 60,5 persen responden dari total 400 orang mengatakan menerima  uang yang diberikan saat pemilihan umum. 21 persen responden sebaliknya mengatakan menolak politik uang. Sisanya memilih tidak menjawab.

Sementara itu di Kabupaten Mojokerto sendiri, tercatat 68,4 persen masyarakat menerima uang tersebut dengan alasan rezeki tidak boleh ditolak. Sisanya 33,5 persen memilih tidak menjawab.   

Jika ditelisik lebih jauh dan dalam, ternyata alasan mereka mau menerima politik uang rata-rata dipicu karena untuk keperluan biaya hidup sehari-hari.

Apakah politik uang sebagai suatu bagian dari strategi politik ?

Jawabnya tidak,  banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai konsultan politik sering mendefinisikan secara keliru politik uang sebagai suatu strategi.

Ini cara pandang yang sesat, pasalnya praktek ini yang pertama tidak diakui konstitusi, yang kedua praktek jual beli suara ini tidak bedanya di pasar yang sering kita tonton sehari-hari. Tidak ada di sana cara-cara sistematis untuk menaklukan lawan politik.

Rekomendasi bacaan
Ancaman Pidana Politik Uang 
Sebagai sebuah perbuatan yang melawan hukum, praktek politik uang atau serangan fajar memiliki bobot hukuman yang cukup tegas dan keras bagi pelanggarnya.

Isi pesan ini ditemukan dalam pasal 71 Undang-udang nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang
 
Secara rinci disebutkan   larangan calon maupun tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk mempengaruhi penyelenggara atau pemilih.  

Bagi pemberi uang maupun penerima, dapat diancam hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan maksimal 72 bulan. Serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Menakar sanksi yang cukup berat itu, tampaknya itu hanya diatas kertas saja, enak dibaca, dan membuat ngeri-ngeri sedap. Tapi apakah itu sudah dijalankan ?

Sejauh pengetahuan saya itu belum pernah terbukti mampu dieksekusi aparat penegak hukum. Pun Bawaslu masih keok dan mudah terkontaminasi dari campur tangan aktor-aktor politik sehingga pengawasannya menjadi kian longgar atas jalannya pemilihan umum.

Kalau begitu, menurut perkiraan saya tampaknya ke depan pemilukada serentak di Indonesia  masih saja akan diwarnai praktek politik uang. 
Kesimpulan
Politik uang adalah barang haram secara konstitusi namun menjadi halal bagi masyarakat yang butuh biaya keperluan sehari-hari.

Konstitusi yang berlaku belum menjangkau kearah situ dan berupaya memisahkan  jalur politik dan jalur ekonomi. Tapi itu adalah langkah sia-sia belaka. 

Keduanya adalah satu bagian yang tak terpisahkan dan menjadi solusi cerdas yang masih sangat ampuh dalam pemilihan umum.

Jadi, mungkin hanya faktor sial saja jika praktek politik uang itu harus sampai ke ranah hukum atau bahkan ke meja persidangan.
 
Baca juga
Bagikan artikel ini