-->

Jumat, Agustus 12, 2016

CARA MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH

"menyelesaikan sengketa tanah"Catatan hitam  sengketa tanah antara warga dengan pihak investor pemegang hak guna usaha di Indonesia kembali lagi bertambah. Kali ini   terjadi di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow yang menukil dari apa yang dituturkan  senator bung Benny Ramdhani  saat dialog singkat di jarod rabu10/08 bahwa tidak kurang dari 28 pemegang hak guna usaha bercokol Kab. Bolaang Mongondow, lanjut diceritakan juga saat masih menjadi anggota DPRD Propinsi Sulut beliau kerap menyelesaikan sengketa tanah antara perusahaan dan masyarakat. 
 
Dari penjelasan sang kaisar ini  sepakat kita boleh katakan masalah ini sebetulnya merupakan penyakit bawaan pada tingkat akut yang selalu kambuh dan menggerogoti kesehatan pemerintah daerah Kab. Bolaang Mongondow.

Hari itu Senin  1 Agustus  2016 saat saya lagi asik-asiknya menyerumput secangkir kopi hasil pesanan dari bilik jendela kantor ke kantin sebelah, tiba-tiba dikejutkan riuh rendah suara yang mirip pasar malam. 

Ada apa ini, selidik poh ternyata hari itu  bertempat di kantor Bupati Bolaang Mongondow masyarakat Desa Tiberias kecamatan Poigar bermaksud menyampaikan kegeraman dan tuntuan mereka kepada pemerintah daerah.  Bergegas saya bergabung dengan pendemo yang saat itu sudah tiba di depan halaman kantor Bupati Bolaang Mongondow untuk mencari tahu inti masalahnya. 

Orasi dari koordinator pendemo Firdaus dan Abner Patras coba saya simak dan sekali-kali melirik tulisan-tulisan yang tertera dalam kertas kartun yang mereka bawa. 

Siapa tahu asupan pengetahuan duduk perkaranya bisa lebih cepat mengisi batok kewarasan saya ketimbang harus bercapek-capek berdiri mendengar semua uneg-uneg yang tampak sudah muncrat kemana-mana. 

Alhasil justru tambah bingung, ya sudah bak patung bogani saya putuskan mengikuti saja skenario cerita yang terlanjur dimulai.

Rupanya masyarakat Desa Tiberias gerah bertanduk-tanduk dengan ulah PT Melia Sejahtera yang disinyalir telah bertindak tidak sopan pada masyarakat. 

Pemerintah daerah pun kena getahnya dan malah balik dipojokan karena dianggap abai dan kurang teliti menerbitkan beberapa dokumen perizinan sehingga mereka minta izin hak guna usaha perusahaan dicabut.  

Di tengah tudingan miring yang beterbangan kemana-mana, Kepala Badan Lingkungan Hidup, serta beberapa pejabat terkait termasuk sekretaris daerah yang saat itu berada di tempat  dengan sigap memberikan penjelasan yang dapat dikunyah akal sehat masyarakat.
  
Cara ini cukup bagus dan sangat pas, apalagi ditutup dengan titik kesimpulan seperti yang disampaikan sekretaris daerah Drs Ashari Sugeha bahwa akan dibentuk tim kajian investasi untuk mencari tahu apa yang dikeluhkan masyarakat.  

Saat demo tengah berlangsung, agar jauh dari tafsir sesat yang membuat saya tergelincir dalam fitnah maka  iseng-iseng saya mengais informasi  pada beberapa warga yang ada sesungguhnya apa yang terjadi dan mengapa mereka keberatan terhadap PT Melia Sejahtera ? ternyata titik tekan masalah ini cuma gara-gara masyarakat dilarang  berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan, dengan pernyataan   tanah ini milik perusahaan  bukan tanah negara.  

Peristiwa ini jelas dan sangat kentara ada  sikap saling memandang remeh di antara keduanya. Ibarat orang di puncak gunung yang tinggi dan melihat orang dibawahnya begitu kecil, tapi pada saat yang sama orang yang dibawah juga melihat orang yang dipuncak gunung itu begitu kecil. Walhasil kalau begitu akan sulit menemukan kata sepakat yang dapat memuaskan kedua belah pihak.  

Hak Guna Usaha 

Lepas dari puas tidak puas itu, seolah menjadi tradisi yang dilembagakan kegiatan investasi dan kepentingan masyarakat akan tidak pernah sejalan, berbenturan dan harus saling menjegal. 

Manuver-manuver belut pun tak lupa biasanya akan mengisi ruang kosong perseteruan di antara keduanya namun  akhirnya sadar atau tidak masyarakat juga yang akan menjadi kuda tunggangan.  

Saya menangkap aroma  ada kepatutan yang dilanggar dari kejadian ini , entah apa itu. Mungkinkah kisruh ini terjadi akibat standar operasional prosedur pengelolaan investasi swasta belum ada  ataukah peran kelitbangan pada perumusan kebijakan pemerintah daerah yang masih lemah.

Padahal jika berkaca pada pasal 36 huruf G dan H Permendagri Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang  memerintahkan “Badan Litbang Daerah Kabupaten/Kota atau lembaga dengan sebutan lainnya yang menyelenggarakan fungsi kelitbangan di kabupaten/kota memiliki tugas: (g) memastikan tersusunnya kebijakan dan atau regulasi berbasis hasil kelitbangan di kabupaten/kota. (h) memberikan rekomendasi regulasi dan kebijakan kepada Bupati/Walikota dan perangkat daerah di kabupaten/kota. Maka idealnya masalah sengketa tanah tidak perlu terjadi dan harus tuntas di awal sebelum semua dokumen perizinan dikeluarkan.

Tapi karena permendagri tersebut relatif baru diterbitkan di tahun 2016 ini maka wajar kalau belum diterapkan metode pembuatan kebijakan berbasis kelitbangan

Untuk memulai pesan permendagri itu akan saya awali  dari kalimat pertanyaan apa sebenarnya hak guna usaha itu ?  Menurut pasal 28 ayat 1 Peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996  tentang  hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah disebutkan sebagai  hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan.

Jadi sudah jelas hak guna usaha bersifat sementara untuk mengelola tanah negara sehingga mengugurkan opini perusahaan yang mengatakan bahwa lahan yang mereka kelolah bukan tanah negara merupakan tafsir dungu sesuka-suka hati, "asal malontok" dari orang pandir.  

Muncul pertanyaan kritis berikutnya  siapa sebenarnya yang memiliki wewenang menerbitkan izin hak guna usaha, apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow ataukah ada instansi lain diluar pemerintah daerah ?

Untuk menciutkan pertanyaan ini, disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan Hak Atas Tanah Negara, bahwa penerbitan izin Hak Guna  Usaha untuk  tanah dengan luas di atas 200 hektar  menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pusat sedangkan untuk tanah yang luasnya dibawah 200 ha, menjadi kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

Sehingga konstruksi tuntutan masyarakat Desa Tiberias yang meminta Pemerintah Daerah Kab. Bolaang Mongondow mencabut izin hak guna usaha PT Melia Sejahtera menurut bunyi peraturan menteri agraria  tersebut jelas salah kamar. 

Syak yang memercik di ubun-ubun saya, lintas koordinasi dari instansi vertikal badan pertanahan nasional dengan pemerintah daerah masih mandul sehingga selalu membuat pemerintah daerah patah arang. Tapi kita tidak akan mencari siapa yang benar dan salah, masalah ini cukup mudah diselesaikan dengan cara-cara beradab dan cerdas.

Posisi Masyarakat

Kita mulai menyelesaikan untuk duduk perkara masyarakat Tiberias yang berkebun di lokasi yang sama dengan PT Melia Sejahtera. Apakah pantat mereka pantas  ditendang seenaknya pihak perusahaan untuk dikeluarkan dari lokasi yang sudah dikuasai ? tunggu dulu bos,   kendati sudah memiliki izin hak guna usaha, dalam pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria jo pasal 4 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan” Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru”.

Jelas, ada kewajiban perusahaan pemegang hak guna usaha kepada masyarakat untuk memberikan  ganti rugi untuk tanaman dan bangunan sebelum izin hak guna usaha itu dikeluarkan. Persepsi lain yang berkembang belakangan untuk ganti rugi tanah mohon maaf tidak dapat dilakukan karena statusnya sebagai tanah negara. 

Pada situasi inilah pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow hadir untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah dengan menawarkan resolusi konflik yang dapat memuaskan kedua belah pihak bertikai dengan beberapa pilihan solusi:
  1. Harus diberikan  ganti rugi kepada masyarakat dengan nilai kesepakatan menggunakan pendekatan metode shadow price (harga bayangan) agar tidak terjadi debat kursi yang berlarut-larut.
  2. Pola inti plasma harus digunakan oleh perusahaan dalam tata kelolah lahan perkebunan yang dikuasainya yang dituangkan dalam nota kesepakatan kerjasama. 
  3. Masyarakat diberikan ruang untuk berkebun sebesar 20 persen dari total luas areal  perkebunan perusahaan dengan merujuk pada  Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Bagaimana seandainya  kalau alternatif yang ditawarkan itu menemui jalan buntu ? dengan sangat berat hati saya mau katakan maka bupati berhak menggunakan  kewenangan yang dimiliknya mencabut izin lokasi  yang telah diberikan. 

Kewenangan penerbitan izin lokasi oleh bupati sudah dijelaskan secara lugas  dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 tahun 2015 tentang Izin Lokasi, sehingga logika terbaliknya bupati berhak juga mencabut izin lokasi yang diberikan.  

Muncul lagi persoalan baru, apakah penjabat Bupati Bolaang Mongondow dapat mengeksekusi perintah pasal 9 ini ? Secara tegas saya katakan  bisa jika mendapat persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri. Itu  ada dalam pasal 132a ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Akhirnya, saya cuma berharap masyarakat perlu sedikit bersabar menunggu solusi terbaik yang diambil Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow seperti sudah saya beberkan sebelumnya. Tidak perlu curiga ada main mata dalam perkara ini, solusinya sudah jelas dan terukur melalui tim penyelesaian konflik yang nantinya akan dibentuk. 

Dan bagi pihak perusahaan harus tunduk dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku dan apa yang diputuskan pemerintah daerah nantinya. 

Penggunaan Undang-undang 51 tahun 1960 dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah ini untuk sementara saya pikir diabaikan dulu demi  mencapai resolusi cerdas yang sama-sama dapat memuaskan semua pihak bertikai. 

Baca juga 
Bagikan artikel ini