-->

Jumat, Mei 27, 2011

KOTAMOBAGU, KOTA EGO WALIKOTA

kotamobagu
SEORANG pemimpin, entah presiden, gubernur, bupati, walikota, ketua RT, atau kelompok arisan, semestinya mendengar serta bertindak atas nama dan untuk mereka yang dipimpin. Teori dan praktek kepemimpinan ini umum ditemukan di banyak literatur dan referensi, mulai how to populer hingga yang ilmiah dan memeningkan otak.

Sebagai warga Kota Kotamobagu yang ikut memilih Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) 2008-2013, di benak saya tergambar sosok yang memimpin kota ini adalah orang yang memahami seluk-beluk warga dan wilayah yang dipimpinnya. 

Sosok yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, mau mendengar setiap keluh-kesah rakyat yang dia ayomi, serta terbuka menerima kritik maupun saran dari siapa saja.

Membuktikan gambaran ideal itu, saya bersama beberapa kawan anggota Lembaga Pengkajian Pengembangan Organik Terpadu (LP2OT), secara tertulis berinisiatif turut menyumbang saran terhadap pembangunan dan pengembangan Kota Kotamobagu. 

Materi tersebut terlebih dahulu dikaji dan didiskusikan dengan pendekatan ilmiah berdasar data dan fakta lapangan; yang lalu disampaikan lewat mekanisme protokoler birokrasi yang berlaku di Sekretariat Kota Kotamobagu. 

Harapannya, setelah membaca dokumen tersebut Walikota mau terbuka, dengan paling tidak menerima atau meluangkan waktu berdiskusi dengan saya dan teman-teman.

Birokrasi Tuyul

Seminggu berlalu, tak ada kabar berita. Dua minggu, apalagi. Tentu bisa diduga, kertas kerja itu akhirnya hilang tak tentu rimba bak digondol tuyul.

Tak kapok, dengan modal pribadi dokumen sumbang saran tersebut dibuat lagi dan disampaikan lewat mekanisme baku birokrasi Kota Kotamobagu. Sebagaimana dokumen pertama, yang kedua juga menghilang tanpa pesan, apalagi kesan.

Belajar dari pengalaman pertama dan kedua, setelah berdiskusi dengan teman-teman, diputuskan dilakukan dialog langsung dengan Walikota Kota Kotamobagu, Djelantik Mokodompit, bertepatan dengan Ramadhan pada September 2009. 

Dengan memboyong peralatan lengkap (notebook, LCD, dan sebagainya), saya bersama beberapa teman berkunjung ke Sekretariat Kota Kotamobagu.

Beberapa saat menunggu, kami dipersilahkan bertemu dengan Walikota. Didahului sedikit basa-basi, saya dan teman-teman kemudian menyampaikan masukan yang sebenarnya sudah dua kali dikirimkan dalam bentuk dokumen tertulis. 

Intinya: Kebijakan pengembangan sektor pertanian  berbasis organik perlu sebagai sektor basis unggulan dalam mendorong percepatan pembangunan Kota Kotamobagu.

Belum lagi paparan kami selesai, Walikota sudah menanggapi yang substansinya menyatakan bahwa Kota adalah kota jasa yang dibangun dengan mengaktifkan peranan koperasi.  

Kami bisa mengerti dan memaklumi pernyataan Walikota. Namun data dan fakta lapangan menunjukkan 70 persen masyarakat Kota Kotamobagu masih menggantungkan ekonominya di sektor pertanian dalam arti luas.
 
Baca juga

Alhasil, karena Walikota yang lebih banyak menjelaskan konsepnya (terperinci pula), pertemuan tersebut dia akhiri hanya dalam waktu kurang dari 30 menit. 

Dengan kata lain, jangankan memaparkan dengan rinci blue print kebijakan yang akan diusulkan yang diniatkan untuk memberi perspektif lain peluang percepatan pembangunan Kota Kotamobagu--, bagian pengantarnya pun belum selesai disampaikan.

Dalih Walikota

Setelah pertemuan di Ramadhan 2009, Aliansi Mahasiswa Bolaang Mongondow Raya (Ambara) menggelar  lokakarya bertema ‘’Maksimalisasi Potensi Kedaerahan dalam Mewujudkan Provinsi Bolaang Mongondow Raya’’ di Gedung Bobakidan Kotamobagu pada 23 Desember 2010. 

Di hari pertama lokakarya ini saya diundang sebagai salah seorang nara sumber yang memberi paparan tentang pemanfaatan tanah.

Di akhir lokakarya, di mana pada hari kedua oleh panitia session tanya jawab dijadwalkan, Walikota Kota Kotamobagu hadir dan menjelaskan arah kebijakan yang ditempuh Pemerintah Kota (Pemkot) dalam menyikapi wacana pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya. 

Menurut cermatan saya, yang menarik dari penyapaian Walikota adalah tiga pilar fundamental dalam kerangka membangun Kota Kotamobagu, yaitu sektor kesehatan, pendidikan dan jasa.

Usai penjelasan dari Walikota, di kesempatan Tanya-jawab, saya secara pribadi (sesuai bidang ilmu yang dipahami, yaitu keuangan daerah) menyampaikan saran yang singkatnya: Walikota perlu merumuskan kebijakan luar biasa (extra ordinary) dalam kerangka mendorong percepatan pembangunan Kota Kotamobagu.

Bahwa, menurut hemat saya, sektor jasa yang di harapkan menjadi salah satu tumpuan perekonomian Kota Kotamobagu dapat di berdayakan dengan peranan secara aktif Pemkot memfasilitasi  pengembangan  usaha skala kecil dan menengah. Keterbatasan kewenangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)/Pemkot di bidang moneter dan fiskal menjadi salah satu penghalang terhadap akses permodalan para pelaku ekonomi. 

Salah satu terobosan yang dapat dilakukan mengatasi halangan itu adalah membentuk bank daerah  yang 100 persen sahamnya dimiliki Pemkot. Cara ini akan membuka akses pelaku-pelaku ekonomi dalam memperoleh dukungan modal.

Menanggapi apa yang saya sampaikan, Walikota Djelantik Mokodompit mengatakan ide itu sangat sulit di wujudkan. Kendati dengan berbagai dalih yang tampak rasional, pada dasarnya Walikota tegas menyatakan saran saya di tolak mentah-mentah. 

Walikota juga mengulang kembali konsep pengembangan sektor jasa versinya, yang sesungguhnya tak jauh beda sebagaimana yang dia sampaikan dalam pertemuan di ruang kerjanya pada ramadhan 2009.

Apa pun yang disampaikan Walikota Kota Kotamobagu dalam konteks pembanguna kota, tentu tak bisa saya debat, terlebih bila ruang itu sama sekali ditutup. 

Dan itulah yang saya sayangkan sekaligus melahirkan simpulan, tampanya menurut Walikota Djelantik Mokodompit arah pembangunan Kota Kotamobagu adalah sepenuhnya hak preogratif Walikota sebagaimana mengangkat atau tidak seorang Kepala SKPD. 

Siapa pun tidak berhak memberi pendapat, masukan dan saran, karena bakal membuat ego Walikota tercederai.

Lalu, kalau demikian apa artinya good governance sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Good Governance?

Baca juga
Menakar Gagasan Walikota Kotamobagu
 
Bagikan artikel ini